Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Mengail di Air Keruh Covid-19

19 Maret 2020   11:56 Diperbarui: 19 Maret 2020   12:01 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Mengail di Air Keruh  dalam Covid-19

Dalam sebuah artikel Mas Nawir salah satu K-ners baru mempertanyakan siapa yang saya sebut dalam bahasan. Melihat perkembangan yang semakin molitik, layak dibahas saja secara lugas, siapa-siapa yang bermain di dalam keruhnya air bernegara akhir-akhir ini. Cukup meliar akhir-akhir ini, apalagi dengan narasi agama dan politik yang lebih kental.

Ingat ini bukan soal agama, namun perilaku beragama. Ada Islam pun Katolik juga menggunakan pola logika yang sama. Jadi ini soal perilaku beragama bukan mengenai agama. Bagaimana seolah-olah keketapan untuk mengurangi aktivitas keagamaan sebagai kekuarangan iman. Lemah iman berbanding dengan pandemi, yang tidak ada sangkut pautnya padahal. Akar rumput, berbeda lagi jika itu adalah elit, pemain politik lagi.

Terakhir, ketika Gatot Nurmantyo yang usai pilpres cukup diam, tidak ada aksi yang mencolok, mengatakan memakmurkan masjid, jadi masjid itu tidak boleh kosong. Seolah pengosongan masjid itu menjadi masalah yang besar, padahal tidak juga sejatinya. Toh Vatikan, Mekah, pun memberikan batasan yang sama.

Tidak heran ketika banyak postingan, status, atau pernyataan yang maaf logika sesat atau bengkok. Bagaimana mereka mengambil lompatan dalam menyimpulkan. Contoh;

Corona itu mudah menular, kurangilah kegiatan bareng, berkelompok, berkumpul.

Tempat ibadah adalah tempat berkumpul, mungkin menjadi tempat penularan yang efektif.

Kesimpulan yang lurus adalah, maka jauhi dulu tempat ibdah karena adanya kumpulan orang yang bisa memudahkan penularan.

Namun banyak narasi yang seolah sengaja, dan ada yang memang tidak paham cara berpikir lurus dengan simpulan sebagai berikut

Iman mengalahkan segalanya,

Memangnya sudah terbukti tempat ibadah menyebarkan covid

Jangan jauhkan hidup dari Tuhan

Corona saja ditakuti, takutlah pada Tuhan

Fideistis, bercampur dengan alam pikir sosial dan pandemi. Bagaimana Tuhan juga memerintahkan manusia untuk berusaha kog. Jangan mencobai Tuhan dengan maaf, kebodohan manusia. Jadi begini, coba bedakan dengan contoh ini

Dalam sebuah penganiayaan, ada orang dibuang ke kandang macan. Dan malah macan itu  diam, duduk, dan melihat saja, padahal sudah tidak diberi makan berhari-hari, agar buas. Macan diganti dengan yang lebih garang, sama saja.

Atau ini?

Mana ada macan yang berani padaku orang beriman, bersama Tuhan akan aku hadapi. Dan masuklah pada kandang macan, diterkam. Apakah ini kurang iman? Atau malah mencobai iman? 

Perbedaan ini yang perlu mendapatkan pemahaman secara mendalam dan menyeluruh. Tidak ada perlawanan antara agama dan pengendalian pandemi ini kog. Keduanya selaras, asal menggunakan pemikiran jernih dan bukan berbumbu agama politik. Ada politik yang mencemari pemikiran.

Jusuf Kalla, ini juga cukup lama tenang-tenang saja. Namun demikian aktif lagi, ketika ada panggung yang bernam corona. Menyarankan lock down, ada apa? Padahal jelas level dia akan paham sih kemampuan bangsa ini, juga soal model ketaatan rakyat untuk bisa setia akan perintah. Ingat, lha bom Tamrin saja malah bakul sate dan kacang kog. Mengapa? Mereka takut lapar dari sekadar bom.

Apalagi corona yang dalam banyak pemahaman orang ini adalah jauh dari kita. Di luar lingkup atau lingkungan saya dalam benak banyak orang.  Jadi mengapa harus takut, khawatir, dan cemas. Ngapain isolasi diri. Pasti JK paham, pada sisi lain bagaimana juga mudah paniknya dan kemudian borong ini dan itu. Panik dan abai kolaboran yang asyik bagi sebagian kelompok.

Padahal jelas pemerintah juga tahu dan paham dengan apa yang JK pahami. Dengan pertimbangan dan pemikiran yang berbeda juga. Motivasi pun lain, dan keputusan adalah social destancing, pembatasan interaksi sosial. Opini dan narasi yang ada, pemerintah berorientasi pada masalah bisnis, investasi, atau wisatawan. Kemanusiaan atas rakyatnya dipinggirkan.

Ah yang benar? Beneran yang mengatakan lock down juga lebih tulus dari apa yang sudah pemerintah lakukan? Rekam jejak bisa menjadi pembeda dan fakta mana yang boleh lebih diyakini. Siapa yang lebih tulus dan bekerja demi rakyat dan bangsa.

KPAI mengatakan jika menerima banyak laporan karena anak murid stres karena tugasnya menumpuk. Ada beberapa hal yang patut dicermati sebagaimana pernyataan salah satu komisioner;

Pertama, banyaknya tugas sehingga anak stres, benarkah demikian? Faktanya, tetangga saya, memang desa, anak-anak main sepede, yang remaja malam malah gitaran dan banyak becanda dengan sesama remaja sambil ngopi. Pun di pasar desa banyak anak dengan ibunya pada jajan pasar. Ada juga yang jajan bersama kawannya. Wajahnya baik-baik saja. Simpulannya sama lebaynya dengan pendapat saya.

Kedua, dengan persiapan yang baik, teknis belajar, tentu tidak akan hanya pemberian tugas, halllo Bu, ini kan darurat, mana ada persiapan. Teknispun pasti masih meraba-raba. Lha nyatanya si ibu ini juga belum pernah mengalami sekolah daring, saya juga gak pernah mengalami.

Ketiga, pernyataannya bahwa bahwa metode belajarnya bisa mengikutsertakan interaksi guru dan murid. Lah teman saya kemarin baru cerita kalau anaknya dalam belajar itu ada diskusi dengan rekan sekelasnya. Dia katakan belajar biologi dan mereka saling menerangkan ada yang bertanya dan ada interaksi dengan temannya.

Beberapa hal tersebut di atas hanya menujukkan separo sisi, bahkan hanya sebagian sisi menilainya, sama dengan amatan saya, juga hanya sesisi. Lha kalau saya kan bukan profesional, tidak ada tuntutan untuk meneropong dengan keseluruhan, beda dengan KPAI. Amatan harus mewakili, bukan hanya kata beberapa orang tua. Benarkah orang tua yang mengatakan anaknya stres atau malah dianya yang stres. Besok akan saya bahas, berdasar candaan teman di media sosial.

KPAI, dan beberapa oknum yang ada itu, selama ini memang memiliki kecenderungan lebih oposan dari oposan itu sendiri. Dan memiliki satu garis kesamaan ideologi. Lha ke mana KPAI ketika ada anak siswa menghajar gurunya? Diam seribu bahasa. Kini mendengarkan kata orang tua, dan menuding guru sudah pasti salah, juga ke arah pemerintah sebagai ujung tembaknya.

Corona ini memang harus dihentikan, dan percayakan kepada keputusan pemerintah, jika memang ada yang salah dibenahi, bukan untuk dicaci maki. Atau malah menuding ini dan itu. Mengatakan kemanusiaan, padahal rekam jejaknya jauh dari itu semua.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun