Effek Kejut, Narasi Media, dan Politisasi Pandemi Corona-19
Beberapa hari ini, cukup intens diskusi mengenai corona ini hanya dengan satu rekan Kompasianer, bacaannya sangat membantu pemahaman dengan lebih obyektif dan netral. Tidak ikut nimbrung dalam grup apapun berkaitan dengan  pembicaraan tema satu ini. Pandangan yang  berbeda, bahkan bercampur dengan politik membuat susah dan ribet.
Dan ndilalah, banyak pemikiran ini senada, bukan keseluruhan pemikiran juga, banyak belajar dari Kner Ronnald Wan. Pas bertanya soal apa yang sekiranya bisa dilakukan isolasi mandiri, eh ada khabar teman Semarang juga sedang prihatin dengan kondisi ini. Klop jadinya.
Efek Kejut dan Kesengajaan
Cukup mengejutkan dengan pernyataan yang mengatakan bahwa pembatasan transportasi adalah memberikan efek kejut kepada masyarakat bahwa hal ini benar adanya. Seolah warga itu maaf bodoh seperti yang berbicara. Mengapa? Ada beberapa hal yang patut disimak sebagai sebuah alur pikir logis.
Sebelumnya orang yang sama mengatakan jika akan ada 6000 kasus jika tidak ditangani dengan serius. Â Dengan program pembatasan sosial oleh pemerintah pusat, malah membatasi jumlah armada, dan akhirnya ada kerumunan, bahkan gerombolan, ya akan sangat mungkin 6000 itu cepat terlampaui. Ini asumsi yang sangat masuk akal.
Rekam jejak dalam menangani keadaan darurat saja kacau balau. Yakin dengan kejadian baru bisa menjadi lebih baik? Tidak akan mungkin. Yang lebih sederhana saja gagal, mosok demikian rumit akan berhasil. Sangat tidak mungkin.
Sejak awal menarasikan kegentingan, padahal negara atau pemerintah pusat sudah memberikan peringatan untuk tenang. Mengapa? Ya agar tidak terjadi kericuhan yang tidak semestinya. Benar bahwa ini berbahaya namun hadapi dengan rasional, bukan asal-asalan saja.
Kelompoknya memaksakan isolasi total, lock down, artinya kecenderungan membuat kekacauan memang seolah sudah dalam perencanaan matang. Kondisi mentah, banyak bolong, dan keadaan yang tidak cukup beralasan itu dibesar-besarkan, hanya meniru negara lain, dan itu pun belum cukup terbukti.
Pernyataan JK yang dalam kapasitas saat ini dan kekinian tidak ada sangkut pautnya secara langsung, toh tidak juga menyatakan sebagai ketua PMI, untukk mengadakan lock-down, dengan dalih agar tidak seperti negara-negara lain. Pun pernyataannya jauh lebih politis-ekonomis, dari pada dasarnya pendemi. Rekam jejaknya membantu melihat itu ke arah mana afiliasinya.
Media dan Narasinya
Menyaksikan terutama judul-judul media, terutama Detik, CNN, dan terutama media yang cenderung mengejar clik bait, asal pembaca tinggi. Kadang tidak salah, hanya sangat tidak etis. Bisa dicek saja dengan kata-kata kunci seperti kenaikan harga. Hanya membahas harga bawang bombay, dikatakan harga melambung tinggi. Apa coba kegentingan bawang bombay dalam hidup harian? Berbeda jika itu beras.
Atau media mengatakan negara ini melakukan lock down, namun dalam rubrik yang lain, media tetap sama menyatakan jika negara tersebut menerima kunjungan wisata dari negara tertentu. Beberapa negara ditolak, dan asal wisatawan negara tertentu melalui karantina 14 hari. Ini kan aneh, ketika lock down, ya tidak akan ada kemungkinan datang apalagi karantina 14 hari. Pokoknya tidak.
Penggunaan istilah yang tidak tepat, bahkan cenderung mengambil sudut yang cenderung menyiptakan horor dan ketegangan berlebihan, ini yang tidak dimaui pemerintah, namun dimaui kelompok-kelompok tertentu. Dan banyak kelompok yang tidak mau tahu, kalau tidak sadar sih kemungkinan kecil. Literasi dan melek informasi cukup kog. Mereka cenderung memang memilih politisasi atas pandemi.
Politisasi Pandemi
Jelas lebih jauh adalah ini, politisasi. Padahal lebih baik dan mungkin itu mengembangkan narasi positif, bersama-sama menangkal narasi negatif yang bisa melemahkan daya tahan tubuh. Angka kesembuhan yang makin membaik ini perlu didengungkan, digaungkan lebih besar, sehingga orang menjadi yakin bahwa bisa dikalahkan.
Katanya bangga sebagai orang beragama, agama disentuh sedikit saja dinilai penistaan, lha nyatanya cara beragamanya masih sesat. Lebih percaya ritual dari pada mengamalkan iman dan beragamanya. Membatasi kuasa Ilahi dengan pemahaman sempit manusiawi.
Ide, gagasan, dan usulan pemerintah dari presiden hingga kabinet diisolasi, jelas arahnya apa. Ini bukan gagasan dari pihak berkompeten atau ahli kesehatan, namun seolah ahli dari ahli. Lebih parah lagi yang meminta untuk  cuti dan diganti oleh orang yang biasa bersama dengan mereka. Arahnya jelas bukan ini politik, bukan pandemi.
Susah melihat ini bukan politisasi, ketika orang yang bermain itu para pelaku politik. Pemain yang menggaungkan ide jauh lebih oposan dari pada oposan selama ini. pembicaraan pandeminya hanya menjadi asesoris, jauh lebih kental aroma politik.
Mbok yao sedikit saja berempati, bersimpati, dan memberikan hati untuk petugas medis yang tidak mudah di tengah keadaan ini. Mereka juga memiliki keluarga, tanggung jawab sosial ataupun pribadi, harus berjibaku dengan "maut", dan tidak jarang juga respon manusia-manusia politis ini bisa menyinggung, menyakiti mereka dan keluarga.
Mau mencaci pemerintah, atau tidak suka pemerintah, tidak perlu juga menyakiti pihak lain. Sebentar saja lho, melepaskan keinginan politik, hasrat kekuasaan ini, biarlah pandemi ini pada porsinya. Hanya di sini, di negeri Indonesia yang penuh dengan intrik politis bahkan dalam kondisi darurat  penyakit.
Politik itu ada waktunya, mosok apapun isunya, apapun alasannya untuk menggantikan Jokowi. Lha selama 32 tahun Soeharto bisa bisa melaju tidak ada gangguan. Takut ya? Risiko demokrasi ya memang gaduh. Apalagi demokrasi enggan baca dan setia pada azas.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H