Menyaksikan terutama judul-judul media, terutama Detik, CNN, dan terutama media yang cenderung mengejar clik bait, asal pembaca tinggi. Kadang tidak salah, hanya sangat tidak etis. Bisa dicek saja dengan kata-kata kunci seperti kenaikan harga. Hanya membahas harga bawang bombay, dikatakan harga melambung tinggi. Apa coba kegentingan bawang bombay dalam hidup harian? Berbeda jika itu beras.
Atau media mengatakan negara ini melakukan lock down, namun dalam rubrik yang lain, media tetap sama menyatakan jika negara tersebut menerima kunjungan wisata dari negara tertentu. Beberapa negara ditolak, dan asal wisatawan negara tertentu melalui karantina 14 hari. Ini kan aneh, ketika lock down, ya tidak akan ada kemungkinan datang apalagi karantina 14 hari. Pokoknya tidak.
Penggunaan istilah yang tidak tepat, bahkan cenderung mengambil sudut yang cenderung menyiptakan horor dan ketegangan berlebihan, ini yang tidak dimaui pemerintah, namun dimaui kelompok-kelompok tertentu. Dan banyak kelompok yang tidak mau tahu, kalau tidak sadar sih kemungkinan kecil. Literasi dan melek informasi cukup kog. Mereka cenderung memang memilih politisasi atas pandemi.
Politisasi Pandemi
Jelas lebih jauh adalah ini, politisasi. Padahal lebih baik dan mungkin itu mengembangkan narasi positif, bersama-sama menangkal narasi negatif yang bisa melemahkan daya tahan tubuh. Angka kesembuhan yang makin membaik ini perlu didengungkan, digaungkan lebih besar, sehingga orang menjadi yakin bahwa bisa dikalahkan.
Katanya bangga sebagai orang beragama, agama disentuh sedikit saja dinilai penistaan, lha nyatanya cara beragamanya masih sesat. Lebih percaya ritual dari pada mengamalkan iman dan beragamanya. Membatasi kuasa Ilahi dengan pemahaman sempit manusiawi.
Ide, gagasan, dan usulan pemerintah dari presiden hingga kabinet diisolasi, jelas arahnya apa. Ini bukan gagasan dari pihak berkompeten atau ahli kesehatan, namun seolah ahli dari ahli. Lebih parah lagi yang meminta untuk  cuti dan diganti oleh orang yang biasa bersama dengan mereka. Arahnya jelas bukan ini politik, bukan pandemi.
Susah melihat ini bukan politisasi, ketika orang yang bermain itu para pelaku politik. Pemain yang menggaungkan ide jauh lebih oposan dari pada oposan selama ini. pembicaraan pandeminya hanya menjadi asesoris, jauh lebih kental aroma politik.
Mbok yao sedikit saja berempati, bersimpati, dan memberikan hati untuk petugas medis yang tidak mudah di tengah keadaan ini. Mereka juga memiliki keluarga, tanggung jawab sosial ataupun pribadi, harus berjibaku dengan "maut", dan tidak jarang juga respon manusia-manusia politis ini bisa menyinggung, menyakiti mereka dan keluarga.
Mau mencaci pemerintah, atau tidak suka pemerintah, tidak perlu juga menyakiti pihak lain. Sebentar saja lho, melepaskan keinginan politik, hasrat kekuasaan ini, biarlah pandemi ini pada porsinya. Hanya di sini, di negeri Indonesia yang penuh dengan intrik politis bahkan dalam kondisi darurat  penyakit.
Politik itu ada waktunya, mosok apapun isunya, apapun alasannya untuk menggantikan Jokowi. Lha selama 32 tahun Soeharto bisa bisa melaju tidak ada gangguan. Takut ya? Risiko demokrasi ya memang gaduh. Apalagi demokrasi enggan baca dan setia pada azas.