Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Percaya Jokowi?

16 Maret 2020   14:43 Diperbarui: 16 Maret 2020   14:47 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih Percaya Jokowi?

Hari-hari ini ada yang seolah  menggerakkan seruan mengenai krisis kepemimpinan. Cukup menggaung di dunia maya. Ditambah mantan presiden SBY dalam kongres juga mengatakan, pemerintah lamban. 

Apalagi jika dibandingkan dengan seorang gubernur yang melebihi kapasitasnya, eh dalam kondisi yang berbeda melempem melebihi krupuk diguyur kuah bakso seember.

Beberapa hal layak dicermati kemudian.

Mengapa tiba-tiba ala minuman ringan datang lagi. Turunkan Jokowi. Nah kan, kelihatan muaranya. Wong akhir bulan kemarin, katanya demo soal korupsi juga ujung-ujungnya turunkan Jokowi dan Ahok, apa kaitannya coba. 

Hanya soal kursi, bukan mengenai corona. Apapun tindakannya tetap saja Jokowi kudu turun. Mau cepat, mau lamban sama saja, wong simpulannya satu kog. Turun.

Para pelaku yang membuat keadaan tidak nyaman  juga itu lagi- itu lagi, Said Didu, Rizal Ramli, Fadli Zon, dan tidak ada yang baru. Di setiap tema yang ada yang mereka-mereka itu. Narasinya juga tidak  berubah, hanya penyebabnya yang berbeda. Model begituan yang dipercayai?

Wacana pengesahan  RUU KPK, RUU KUHP,  ujungnya demo, tuntutannya Jokowi mundur, dan mengatasnamakan demi kesatuan bangsa. Lha bangsa yang mana sih? Apapun temanya, ujungnya Jokowi mundur. Lah menang pemilu, menjabat  belum pun sudah diminta mundur, apalagi kini sudah hampir  setahun. Sudah pada gerah mungkin.

Lucu adalah dulu mendukung Jokowi dengan sekuat tenaga, merasa relawan, militan, dan pokoknya Jokowi, eh ngambeg, karena Prabowo bergabung dalam kabinet. Padahal pilihan yang sangat pelik, dan kini sangat beruntung Prabowo yang memiliki gerbong demikian besar itu ikut dalam pemerintahan.

Zon, Puyuono, itu sih hanya riak kecil yang banyak omong, dampak tidak ada. Beda jika Prabowo benar-benar di luar. Untung memilih Prabowo dan meninggalkan Demokrat. Suara dan gaungan SBY itu kecil, bandingkan adanya kolaborasi Gerindra dan radikalis. Demokrat meskipun membiarkan radikalis tumbuh subur waktu berkuasa, namun tidak cukup akrab dan memiliki kesamaan habitat. Jadi aman.

Lucu lagi adalah ketika isu lockdown, dengan segala kesumiran dan kekacauannya, ada yang langsung menyatakan dukungannya bagi pemilik ide itu. Sah-sah saja dukung mendukung, dan ide apapun, asal itu berdasar kajian mendalam, komprehensif, dan tidak grusa-grusu. Cakupan pemikiran juga berbeda tentunya, daerah dan negara.

Tuh lihat pemberitaan pagi ini, dan sore nanti lebih parah ketika jadwal, jumlah armada, dan kapasitas alat transportasi umum dibatasi. Ini sih bukan mau membuat aman, malah menambah potensi masalah baru. Miris, sudah teriak duluan, baru ada kejadian gak diantispasi. Pemimpin itu mikir dulu baru buat keputusan, bukan sebaliknya, kecuali memang sengaja target 6000 aktif corona terjadi.

Ada pula isu soal penjatuhan kekuasaan, dan memang sudah ada faktanya kan yang mengatakan jika  Jokowi perlu turun atau cuti. Coba apa yang ditakuti Jokowi, mosok kursi sih? Jika iya, ia gampang kog, banjiri saja dengan subsidi, kemarin pilpres tidak akan susah payah untuk menang. Sederhana bukan, tidak ada yang dicemaskan oleh Jokowi.

Tidak model pribadi yang haus kursi dan kekuasaan. Sepanjang hingga hari ini, belum terlihat haus kuasa itu. Toh wacana tiga periode ia enggan dan merasa akan mengingkari konstitusi dan demokrasi. Ingat hari ini lho ya.

Pemaksaan kondisi untuk chaos, jelas arah yang dimaui. Pun soal pembatasan operasional angkutan umum massal menjadi masalah. Ujung-ujungnya memang rusuh. Pemikiran sempit, parsial, dan utama adalah cemar asal tenar. Poko menjadi bahan pembicaraan meskipun tidak mutu. Yang menanggung susahnya adalah Jokowi.

Masalah sekolah libur, dan ini sedang musim DBD. Apakah ada korelasi? Secara tidak langsung iya, anak-anak sangat mungkin tertidur di rumah, pagi hari. Nyamuk pembawa DBD sangat aktif pada pukul 9-11 pagi. Jadi sangat mungkin mereka tergigit dan terjangkit DBD, berbeda ketika di sekolah anak menjadi aktif, bukan semata pasif.

Berkaitan dengan sekolah belajar di rumah, sangat sulit, karena pernah ketika masih jadi guru, anak-anak murid itu pulang ke rumah, sudah sangat sore, ternyata menunggu orang tuanya pulang dari bekerja. Dari pada di rumah tidak aman, jelas lebih terjaga di sekolah. Dan itu kadang menyusahkan guru dan petugas keamanan. Itu masih tanggung jawab penuh sekolah, padahal kan di luar jam kerja sebenarnya. Ini fakta.

Orang tua tidak bisa sepenuhnya di rumah, lihat tuh kantor dan pabrik masih aktif kog. Fakta ada bukan, itu sangat susah diterapkan dan menjadi jalan keluar terbaik. Tergesa yang tidak matang, ribet memang.

Ada yang mengaitkan dengan kepercayaan, dan menuding pemerintah bohong soal penidap corona. Lha kan jelas bagaimana perilaku kagetan anak bangsa ini. Dikit-dikit kaget, berbeda ketika kebohongan dan tidak transparant itu soal anggaran. Toh yang ugal-ugalan anggaran tidak dituding rekayasa. Lha sampeyan waras?

Jokowi bukan manusia sempurna, tetapi ia sudah menang pemilu. Sudah, apapun yang terjadi ya nantikan 24, tidak [erlu memaksakan apapun untuk menggantikannya. Apalagi melakukan upaya inkonstitusi. Tidak zaman lagi demokrasi dengan pemaksaan kehendak.

Jangan abaikan kepentingan politik beberapa kelompok. Jokowi itu kursinya panas, bukan hanya dalam, namun juga luar. Lihat mengapa JK seolah maksa untuk lockdown, lihat saja rekam jejaknya dia seperti apa, dan warnanya bisa ditebak sendiri. Sangat jelas muatannya untuk apa, dan itu bukan untuk bangsa dan negara.

Social distancing, upaya dengan sadar untuk mengurangi potensi kontak erat dengan orang lain, guna memerlambat penyebaran virus antara orang satu dengan lainnya.  kemungkin lock down masih mungkin, dengan pertimbangan khusus.

Ada pula mengatakan mengapa militer, bukan dokter yang menjadi Ketua Gugur Tugas Pemberantasan Covid-19, karena memang ancamannya ke mana-mana, bukan semata kesehatan, namun juga keamanan nasional. Jangan anggap remeh, pernyataan ganti presiden atau ekonomi bisa sangat berbahaya.

Mendukung Jokowi untuk tidak sendirian. Salah ya kritik bukan mengganti, itu bukan demokrasi. Lucu teriak demokrasi namun perilakunya bar-bar.  Pilihan-pilihan sulitnya toh masih searah dengan konstitusi.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun