Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Harga Masker dan Kegentingan Jakarta, Kali ini Anies Benar

6 Maret 2020   18:52 Diperbarui: 6 Maret 2020   18:56 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Harga Masker dan Kegentingan Jakarta, Kali ini Anies Benar

Beberapa waktu ini keberadaan virus corona menjadikan banyak spekulan. Paling parah jelas yang memainkan harga masker. Miris bahkan dunia internasional sampai mewartakan hal ini. Beberapa pihak  memang masih bernaluri waras dengan menahan diri dan bahkan ada penyedia jasa penjualan on line menegaskan penjual yang memainkan harga tidak wajar akan mendapatkan sanksi.

Toh banyak pelaku usaha yang masih berpikir normal, tidak mengejar keuntungan berlebihan. Naik satu atau dua ribu ya patut, kalau sudah puluhan bahkan ratusan kali lipat itu sudah tidak lagi bisa diterima akal. Bagus, ketika banyak dilaporkan adanya orang-orang baik yang masih memiliki sisi kemanusiaan yang tidak ikut-ikuta ngawur.

Ketika di Makasar ada mahasiswa yang membeli masker kemudian hendak mengirim ke luar negeri, masih belum seberapa kaget. Mereka sih mencari untung toh juga susah payah mengumpulkan dari toko ke toko, apotek ke apotek. Dan mereka ini anak muda, mau usaha, meskipun abai sisi tertentu.

Pemkot Surabaya juga mengumpulkan banyak masker dan kemudian membagikannya kepada rakyat. Ini juga masih sangat wajar. Melayani kebutuhan masyarakat. Sudah sejak bulan bersiaga untuk itu.

Paling lucu yang ada di Jakarta dengan keriuhan khasnya yang bolak-balik salah, ralat, dan reaksi dewan daerahnya yang kagetan. Seolah-olah SOP perilaku pemerintahan DKI itu, kebijakan, ralat, dan dewan kaget. Satu paket pakem yang tidak dapat diganggu gugat. Lha ke mana mau maju jika selalu demikian. Pengawas dan yang diawasi sama lucunya.

Ada dua hal yang layak dicermati persoalan masker di Jakarta ini.

Pertama, awalnya kan pemrov akan menjual masker dengan nilai jual @ Rp. 6.000,00, enam ribu rupiah per helai karena pembelian seharga tiga ratus ribu rupiah dengan isi 50 helai. Sangat logis, atematis juga pas. Pemrov tidak mengambil untung.  Masalahnya adalah mengapa Surabaya bisa membagikan dengan gratis, sedang Jakarta dengan APBD yang puluhan kali lipat malah bisa memberikan dengan cuma-cuma.

Kan aneh, seolah-olah tidak ada yang salah membeli dan harga jual sama. Baik-baik saja, ketika mengatakan harga jual dan harga beli tidak ada perbedaan. Namun di toko tertentu jauh lebih murah. Ini kan menjadi masalah, bukan hanya sebuah persoalan sepele. Berarti ada sesuatu yang terjadi. Jika pihak lain,  bukan pemerintah saja bisa lebih murah mengapa pemerintah menjual lebih mahal?

Kedua, kemudian SOP tahap kedua adalah salah, ralat, itu tidak sepenuhnya demikian. Nilai belinya memang sudah mahal. Nah jika ada penjual menjual di atas harga kewajaran, sebenarnya Pemprov justru menggandeng kepolisian untuk menindak ini. Menjadi lucu ketika mereka membeli harga di luar kewajaran. Ada apa?

Mereka malah bisa disangka mendukung spekulan dong. Lihat di Jawa Tengah dan di Makasar nyatanya digrebeg. Berarti ada pelanggaran hukum. Atau karena pemerintah daerah kemudian lepas dari tuduhan menjadi bagian spekulan?

Mau dijual sama harga atau tidak. Potensi ada pelanggaran cukup kuat. Membeli di luar harga yang wajar saja sudah bisa ada dugaan tidak benar. Selisih harga sepuluh ribu saja sudah aneh, ini bahkan sampai ratusan ribu.  Dan mereka berperilaku seperti ini bukan hanya sekali dua kali. Berkali ulang.

Bagaimana patung bambu itu. bosan mengupasnya. Toh sudah tersedia di jejak digital apa yan terjadi dengan pembandingnya.

Diulangi dengan ornamen batu. Bongkar pasang trotoar, bongkar atap JPO, hal-hal remeh dengan anggaran luar biasa besar.  Termasuk memberikan jaring untuk kali. Entah mau seperti apa lagi ketika bicara anggaran selalu SOP-nya sama terus menerus.

Paling fenomenal ya anggaran balap mobil listrik. Dan seolah biasa saja. Tidak ada tekanan yang berarti dari anggota dewan yang tidak merasa itu uang rakyat, bukan uang sendiri yang seenaknya digunakan untuk apa saja. Di tengah penanganan banjir yang tidak karu-karuan.

Jangan lupa juga soal anggaran yang ugal-ugalan, lem tertentu dengan angka luar biasa. Helm, pasir, ballpoint, dan penghapus yang tidak masuk akal. Ke mana itu semua? Malah terabaikan oleh kasus demi kasus baru.

Ke mana pula kayu-kayu ratusan batang dari Monas? Usai berkelit tidak karu-karuan ada pengakuan untuk dijadikan meubelair. Keberadaan mebel itu kini di mana? Kantor-kantor pemda atau malah ada di toko-toko? Jika tidak ada di kantor-kantor, berarti masuk ke mana uang penjualan kayu itu?

Identik kog model kinerja mereka ini. Ada kebijakan ugal-ugalan,  pembelaan yang tidak karu-karuan,  dan terdesak kemudian mendadak lempeng, dan menguap. Dewan merasa kaget. Luar biasa pola main yang sangat luar biasa.

Hal yang baik jadi bobrok, merasa diri paling bener, dan pengawasnya ternyata era android masih menggunakan metode underdos. Lainnya melaju kencang ke Mars, eh yang di sini masih rebutan reeh dari sekelas masker.

Dan seolah itu biasa saja. Persoalan mendasar mengenai etika, namun seolah saja normal. Hanya mengatakan kaget, lha buat apa gaji tinggi jika hanya bicara kaget. Adak masih cadel pun bisa bilang kaget.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun