Deny Siregar menyatakan, mualaf itu belajar bukan mengajar. Ya ini tepat. Miris memang, ketika oang masih minim pengetahuan agama barunya, malah seolah melebihi yang memang sejak kecil meyakini agama tersebut. Â Lebih memilukan, pengajarannya bukan pengetahuan baru, namun kelucuan dan juga malah maaf ketololan pengetahuan mengenai agama lamanya.
Lagi-lagi kisah lama kembali mengemuka. Steven Indra Wibowo, saya pernah membuat artikel berkaitan dengan nama ini, waktu itu menuliskan mengenai administrasi Gerejani. Sebentuk "akte" Gerejani. Di sana ada data kapan lahir sebagai manusia, aliasa tanggal lahir, baptis, itu adalah tanggal kelahiran Gerejani dan lengkap mengenai data pribadi sebagai anggota Gereja. Itu Desember 2014.
Ada beberapa hal cukup menarik untuk pengetahuan, dan juga demi hidup bersama yang lebih baik.
Indra ini menyatakan diri anak PL Ambarawa. Benar sekolah itu dalam asuhan Bruder-bruder FIC, namun bukan mendidik menjadi bruder, atau jenjang pendidikan bruder. Wong ada ceweknya juga kog. Apalagi kelahiran 81, jauh di bawah saya, di mana PL sudah tidak mengenal sekolah khusus laki-laki lagi. Â Apa iya ada cewek jadi bruder. Artinya ia ngaco.
Sekolah ini memang menyediakan asrama untuk anak-anak usia SD dan SMP. Lagi-lagi bukan menjadikannya calon Bruder. Beda jauh, karena toh pendidikan bruder itu usai SMA. Dari SMA masuk jenjang pendidikan yang biasanya terdiri atas satu tahun aspiran, dua tahun novisiat, dan beberap tahun yuniorat, dan bagi kaul kekal.
Nah masa yuniorat ini biasanya diisi dengaan studi yang menunjang  karya tarekat  tersebut. Bisa pertanian, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.  Dan ingat jenjang pendidikan bruder sangat kecil kemungkinannya tahbisan sebagai imam, atau menerima imamat.  Memang dalam kasus khusus ada tarekat yang awalnya bruder, kuliah teologi dan tahbisan. Ini ada, seorang rekan menjalani jalan demikian.  Kasus sangat khusus, biasanya tarekat yang memang memiliki dua jalur imamat dan bruder.
Dalam setiap jenjang pendidikan itu akan selalu ada photo  masing-masing pribadi, biasanya di pajang di tempat-tempat strategis. Ada pula buku anggota, yang memuat profil dan catatan-catatan khusus. Jika rekan angkatan malu, jadi tidak ada saksi, bisa mencari data dan fakta dari sana. Catatan dari buku atau photo komunitas.
Diakon. Ini adalah jenjang yang termasuk dalam hirarkhi, setahap sebelum imamat. Ada tahbisan yang bernama tahbisan diakon. Ini publik, ada pengumuman di gereja-gereja se wilayah di mana ditahbisakan. Misalnya tahbisan di Keuskupan Agung Jakarta, semua gereja di wilayah Keuskupan Agung Jakarta akan mengumumkan itu. Â Berbeda kalau orang menikah hanya dua gereja yang mengumumkan. Seluruh keuskupan mengumumkan. Â Satu saja mosok tidak ada yang ingat.
Prodiakon. Ini khas Keuskupan Agung Semarang yang memiliki istilah ini. Keuskupan Surabaya menggunakan istilah asisten imam, tugasnnya memang menjadi "pembantu" pastor, dalam memimpin ibadat, membagikan komuni, atau memimpin sakramentali. Tidak akan pernah bisa memimpin Misa.
Prodiakon ini biasanya adalah bapak atau ibu keluarga. Paroki-paroki biasanya memberikan syarat usia minimal 40 tahun. Dengan dasar sudah memberikan bukti hidup keluarganya laik dan pantas. Ada dua alasan sangat tidak mungkin, kalau dari diakon menjadi prodiakon, jika demikian turun "kelas" dan malah kembali ke titik balik. Pun usia, jarang diakon di atas 40 tahun, dan Paus telah menolak bapak keluarga untuk ditahbiskan. Artinya tidak ada peluang prodiakon tertahbis.
Apalagi mengaku memimpin misa, membaptis setiap hari, kemudian mendengarkan pengakuan dosa. Lha baptis itu perlu masa katekumen selama 52 pertemuan. Dari mana bisa setiap hari membaptis? Gereja Katolik apalagi mengaku di Katedral Jakarta, tidak sesederhana menuangkan air ke dahi membaptis itu.
Dari  beberapa istilah dan lompatan logika yang ada. Jelas ini hanya mengaku-aku dan kemudian mengaitkan istilah-istilah Gerejani yang dia sendiri sangat tidak paham. Kasihan sebenarnya, jika istilah dasar saja kacau begitu mengaku lulusan magister luar negeri pula. Bruder dan imam itu beda jauh.
Pun diakon dan prodiakon. Eh ternyata yang berkisah dengan bangga malah tidak tahu bahwa itu secara esensial berbeda jauh. Dan mirisnya menjadi sebuah kebanggaan dan seolah heroisme bagi pihak-pihak tertentu.
Setuju dengan pernyataan DS bahwa selayaknya mereka ini belajar bukan mengajar. Jika mau memperlihatkan bahwa ia dulu agama A atau B, pelajari atau ingat-ingat lagi, semisal kronologi saja belepotan apalagi sekelas teologi. Ini hanya istilah-istilah yang receh, bukan dogmatis, apalagi teologis. Sebenarnya tidak ada artinya bagi iman, namun perlu dijelaskan, di tengah alur literasi anak bangsa ini yang sangat lemah.
Sekali lagi, ini bukan soal agama baru, atau pindah agama, ini soal orang hidup bersama yang menyangkut agama. Bagaimana bisa berbicara agama namun diisi dengan kekeliruan yang bisa menimbulkan kesalahan dalam memahami keberadaan agama lain.
Terima kasih dan salam
Artikel lain yang berkaitan dapat di baca di sini dan sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H