Mungkin hanya bangsa ini yang mabuk dengan agama. Ada yang pindah kemudian ribut dan menjadi seolah-olah agama yang ditinggalkan itu salah. Lha kan mau benar atau salah itu urusan personal dengan Sang Khalik, mau diberitahu apapun ya  tidak ada faedahnya. Itu sikap, pilihan, dan tidak perlu diributkan sebenarnya.
Tentu fakta ini bukan mau mendeskreditkan Ustaz Bangun Samudra, namun ada beberapa hal yang secara faktual itu salah.
Universitas Petrus itu tidak ada, yang menggunakan nama Petrus itu Basilika, alias Katedral, gedung gereja dan juga lapangan yang biasa dipakai paus untuk audisi umum. Kalau kampus yang tenar itu Gregoriana. Â Dan ketika kampusnya tidak ada, artinya apa? Bisa dijawab sendiri.
Apalagi jika berbicara soal alasan biarawan dan biarawati, soal mobil, dan sebagainya. Tidak ada kebenaran yang pas dan benar.
Mengenai pendidikan imam. Pendidikan imam itu stadar, karena bukan semata pengetahuan, jauh lebih mendasar adalah pembinaan. Namanya pembinaan tidak bisa disingkat. Nah ketika dia mengaku hanya separo bisa selesai, artinya apa? mau menonjolkan diri sebagai orang hebat yang layak dipercaya.
Jauh lebih pas baik, dan bermakna ketika orang mengadakan kegiatan keagamaan adalah mengaji dan mengkaji keilmuannya sendiri. Ilmu agama yang baru ketika ia adalah orang yang pindahan, aneh mengapa malah lebih banyak mengupas agama lamanya?
Mengadakan kegiatan keagamaan tentunya menebarkan kebaikan, lha mosok harus diawali dengan bualan. Ini bukan soal membual yang sepele seperti anak kecil yang membanggakan bapaknya. Mereka ini tidak tahu, lha model ini tahu dengan baik kog.
Syukur, bahwa jeblinger, para kaum yang tidak lulus seminari itu banyak, lebih dari 50% itu tidak jadi imam. Â Ada pula yang sampai hampir 90%, toh yang ala-ala ini tidak banyak. Hanya saja memang yang pendekatan model ini memiliki corong dan banyak orang yang mendengarkan dan untuk dimanfaatkan.
Keadaan seperti ini, ketika aksi intoleransi sedang marak, cukup baik ketika mau membaca, melihat, dan memikirkan  kebenaran di balik kata-kata yang memberikan kisah cenderung lebay.
Sebenarnya enggan menuliskan ini, tapi, ada rekan jeblinger, Kompasianer juga yang mencolek di media sosial. Â Patut dituliskan lagi berarti, karena sudah ada tulisan dari seorang Pastur Praja yang menuliskan tahu 2015, saya tahun 2019, toh kini marak lagi. Artinya apa? Â Mangga dimaknai masing-masing.
Terima kasih dan salam