Polemik Ketua BPIP: Agama Musuh Terbesar Pancasila, dan Peran Pers
Tadi pagi, ada kiriman pernyataan ketua BPIP yang baru oleh keponakan. Ia menyatakan ketua BPIP ngawur. Pas membuka link yang ia kirimkan jadi paham yang dimaksud dan saya malah membenarkan sepenuhnya apa yang dimaksud Ketua BPIP. Langsung saya kirim link yang sama ke beberapa teman dan grup, bahwa akan ada "keributan" baru.
Pernyataan ini secara ringkas mau mengatakan jika Pancasila itu dihadapkan pada perlawanan agama, tepatnya para pelaku beragama dibandingkan kesukuan. Konteks yang mau dikatakan adalah dibandingkan persoalan suku yang ribuan itu masih lebih menakutkan agama, dalam arti para [elaku beragama yang menafsirkan dengan kaca mata kuda.
Ketua BPIP mengambil contoh itjima ulama untuk pilpres kemarin dan pernyataan ini jelas yang dikatakan adalah perilaku orang beragama. Dan memang gampangnya agama karena berkaitan dengan suku. Jadi tidak ada yang salah.
Judul dalam sebuah berita yang mengambil Agama Musuh Terbesar Pancasila. Jelas ini hanya memantik pembaca agar tertarik untuk  membuka judul itu. Ada beberapa hal yang patut dilihat.
Pertama. Pelaku media jelas tahu banget bagaimana perilaku anak bangsa ini. Malas membaca namun cepat bereaksi. Makanya timbul pernyataan atau istilah penthol korek, kepala tanpa isi yang mudah terbakar. Budaya atau kebiasaan membaca sangat rendah. Nah suguhan seperti ini kan seperti api dengan bensin. Berbicara agama lagi dan Pancasila. Padahal sedang panas-panasnya persoalan intoleransi.
Kedua, jika ada pernyataan perilaku orang beragama. Sangat mungkin tidak akan ada polemik dan pernyataan sampai pemecatan padahal belum juga lama dilantik. Memanaskan suasana yang sama sekali tidak  penting sebenarnya. Pernyataan pemikiran sesat segala, jelas ia belum tahu isinya apa. ini elit lho. Bagaimana yang bawah kalau elit saja menelaah pernyataan tidak cermat seperti  ini.
Ketiga, judul diberi pembanding, suku dengan satu kata, polemik sudah bisa sangat diminimalisasi. Â Dan itu ternyata tidak dilakukan. Unsur kecil namun memberikan dampak yang cukup besar. Lagi-lagi membuat keadaan makin tidak kondusif.
Nilai baiknya adalah ketua BPIP ini bukan pejabat politik sebagaimana Menag beberapa waktu lalu. Apalagi seperti Ahok yang menjadikan keadaan panas beberapa tahun yang lampau. Jabatan yang tidak langsung bersentuhan dengan massa dan juga kepentingan publik. Lebih baik lagi bukan dari etnis dan agama yang kecil. Tidak bisa dibayangkan itu dilakukan oleh model Ahok.
Seolah ini memang sedang ada aksi yang tidak kelihatan memang mau membuat keadaan tidak terkendali. Memainkan isu agama dan suku memang sudah cukup kencang dimulai. Bagaimana persoalan rumah ibadah yang senada dan sebangun dengan penyelesaian yang berbeda. Antara Karimun dan  Minahasa. Artinya kemungkinan ini rekayasa kog makin kuat.
Mengenai pemulangan eks-WNI yang begitu riuh rendah. Ada yang membuat opini ini adalah pelanggaran HAM dan eksDaesh, tetap WNI, dan seterusnya. Lagi-lagi polemik. Mengapa sih suka anget berpolemik?
Bangsa ini suka atau tidak belum saatnya demokrasi yang model barat seperti ini. mengapa?
Bekal masih sangat minim. Lihat bagaimana bisa berbicara asal bicara. Dari elit sampai akar rumput. Kalau terkena pasal dan penegakan hukum akan menyatakan khilaf kalau akar rumput ya tetap masuk bui. Elit yang tetap ngeles ke mana-mana.
Taat azas masih sangat minim karena keberadaan eforia atas hidup demokrasi yang puluhan tahun dikekang Orde Baru. Dari elit hingga akar rumput sama saja perilaku dan cara berkomunikasinya. Memalukan sebenarnya jika tahu adat dan tahu sopan santun. Namun ya itu yang ada.
Lemah dalam membaca dan belajar. Lihat saja berapa orang masuk bui. Itu semua karena sembaranag dalam menggunakan media dan berkomentar di dalam media sosial. Padahal jika mau sedikit belajar dan mau membaca dengan cermat tidak akan terjadi.
Membaca itu menjadi penting, sehingga tidak mudah terpedaya dan juga salah di dalam bersikap. Miris sebenarnya kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan dan alat komunikasi namun tidak dibarengi kemanfaatannya. Seolah malah menjadi mala petaka. Padahal karena pilihannya yang salah.
Kelompok tertentu itu masih suka gaya feodal. Maunya kelompok tertentu yang mengendalikan bangsa ini. Dan ketika orang luar kelompok yang menjadi pemimpin, mereka meradang. Ketika tidak berdaya, ya sudah memainkan bagaimana isu menjadi liar dan keadaan tidak kondusif.
Pemberitaan yang sering memilih bombastis dan demi pembaca, sering mengabaikan ranah kepantasan. Â Pemilihan judul dengan maksud tertentu, apalagi hanya demi pembaca tertarik namun bisa menjadi sumber polemik jelas tidak patut.
Bangsa ini entah sampai kapan suka berpolemik. Lha hal sepele saja ributnya minta ampun. Susah membayangkan gagasan besar Pak Jokowi untuk Indonesia sejajar dengan China, Amerika, dan tidak hanya menjadi negara berkembang, kalau selalu riuh rendah pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Â Selalu saja tersinggung, sensitif, ketika agama disebut. Padahal apa sih yang berkurang. Apalagi jika itu adalah kenyataan.
Susah maju jika orang hanya berkutat pada persepsi, asumsi, dan kepercayaan buta tanpa mau tahu apa yang terjadi secara lebih luas. Â Beragama tanpa perkembangan diri sama juga hidup di dalam gua namun merasa paling tahu dunia. Tanpa membaca dan internet malah lebih kuat untuk yang negatif. Contoh pelacuran dan ha ha hi hi yang tidak berdaya guna. eLeSHa.
Terima kasih dan salam
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H