Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PAN dan Ricuh, Frustrasikah?

12 Februari 2020   10:33 Diperbarui: 12 Februari 2020   13:16 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PAN dan Perilaku Bar-bar, Bukti Frustrasi?

Sejak kemarin sore hingga pagi ini, berseliweran tayangan dan kiriman video kerusuhan konggres PAN. Miris melihat kursi menjadi bahan lempar-lemparan, seperti anak kecil saja. Kaca pecah berhamburan, dan itu yang mengantar Zulkifli Hasan untuk menang dan menitikan air mata. Entah menitikan air mata bahagia dan haru karena menang atau sedih dan malu karena ricuh.

PAN ini anak  kandung reformasi. Tanpa reformasi tidak akan lahir PAN, dan harapan cukup gede waktu itu. kampanye pemilu 99, PAN termasuk memantik simpati dengan konvoi rapi, keren, dan tidak membuat takut. Barisan putih-putih dengan raungan motor yang tertib, gerak badan dan bendera yang teratur, membuat mereka seolah akan menjadi harapan baru.

Masih ada Amien Rais dengan suara dan kalimat-kalimat yang menggelorakan semangat, belum seperti hari-hari ini. Salah satu partai yang  lebih menjanjikan pada waktu itu. Dan memang cukup baik perolehan suara mereka dan mengantar Amien Rais menjadi ketua MPR dengan hasil seperti yang kita sama-sama saksikan hingga hari ini.

Makin ke sini, makin hari PAN malah tidak berkembang sebagaimana mestinya. Malah seolah menjadi jauh lebih kolot dan kuno dari pada partai kemarin sore. Dibandingkan Golkar masih jauh lebih reformis Golkar kan aneh. Padahal Golkar adalah anak kandung Orba, bukan reformasi. Toh itu sudah terjadi.

Kegagalan demi kegagalan yang membuat PAN seolah frustasi. Salah satu contoh, ya kemarin dengan saling lempar itu. Ssusah akan mendapatkan pengakuan jujur mengapa ricuh dan ada apa. Toh akan  dijawab secara politis, ah itu dinamika biasa, perbedaan pendapat itu wajar, dan seterusnya. Kalau lempar kursi memecah kaca yo kurang ajar, bukan lagi wajar.

Berbeda itu sangat alamiah, wajar, dan normal dalam alam demokrasi. Namun ketika kekerasan, merusak, dan pemaksaan kehendak di balik itu semua, berarti ya tidak lagi demokratis. Beberapa hal sangat mungkin menyebabkan kekecewaan dan kerusuhan.

Peran Amien Rais yang masih demikian dominan. Suka atau tidak, Amien sebagai "pemilik" PAN. Ia deklarator dan sekaligus ketua umum pertama. Sedikit banyak restunya yang akan memberikan jalan bagi ketua umum selanjutnya. Ini pasti terjadi, adat timur sangat menguatkan keberadaan kultus demikian.

Hal yang jelas tampak dalam dua kali gelaran pilpres, bagaimana warna PAN yang ambigu membuat kader dan akar rumput PAN menjadi bingung juga. Matahari kembar itu nyata, bukan fiksi. Memang kadang Amien tidak kelihatan secara fisik, namun jangan dikira lepas tangan seluruhnya.  Malah sangat mungkin serupa bayangan yang lebih berkuasa.

Pilpres kemarin, sikap mereka juga tidak jelas. Bagaimana mereka secara fisik beberapa elitnya bersama Prabowo, namun dalam aksi lain kampanye Prabowo juga sama sekali tidak ada. Ambigu ala Demokrat yang menular dengan sangat parah, dan seolah PAN menikmatinya tanpa mau berubah apalagi berbenah.

Sikap ambigu dan main dua kaki secara vulgar ditampilkan dalam pemerintahan periode lampau. Bagaimana menjadi bagian kabinet namun suara mereka lebih berisik dari pada Gerindra yang sepenuhnya oposan. Padahal mereka bersama Gerindra menjadi rival dalam pilpres.

Kini memang mereka di luar pemerintahan. Namun suara yang tidak cukup signifikan, dengan posisi Zul yang tidak juga jelas mau membawa ke mana PAN membuat kader makin keder untuk berjuang dengan militan.

Belitan KKN dan masuk bui satu demi satu keluarga terdekat ketua umum, juga membuat gerah kader dan simpatisan PAN. Adik-adik, kader-kader yang menjabat di daerah, satu demi satu masui bui dan tangkapan KPK. Coba bagaimana pertanggungjawaban PAN sebagai amanat dan anak kandung reformasi, ketika mereka juga pelaku KKN utama malahan.

Zul sendiri juga kencang terdengar dalam panggilan KPK. Artinya susah melihat PAN bersih dari belitan KKN. Terakhir ia tidak datang pemanggilan KPK, lagi-lagi adalah pertunjukan tidak tertib hukum yang diberikan oleh elit partai politiknya.

Kegagalan demi kegagalan dalam berpolitik, dan juga kaderisasi yang bagus dalam masuk bui tentu membuat gerah banyak kader dan simpatisan PAN. Dan ketika harapan perubahan tidak ada, emosional tidak terkendali jelas akan menjadi sarana pelampiasan yang paling mudah. Jadi sangat wajar kemarahan itu terluapkan dengan begitu bar-barnya.

Jika gagal dalam satu atau dua kontestasi sih wajar. Lha kalau terus menerus kalah apalagi tidak memiliki panggung ya mau apalagi. Jauh lebih banyak kontroversi dari  pada prestasi yang mereka torehkan.

Jangan kaget kalau PAN hanya akan terus menurun dan hilang dari peredaran. Kader moncer tidak ada. Panggung tidak punya. Posisi tawar yang diberikan Zul juga selalu mentah baik kepada kubu kuat ataupun lemah. Lihat bagaimana mereka hanya menjadi penggembira dalam gerbongnya Prabowo kemarin.

Jelas terbaca mereka semakin suram karena mereka selalu salah pilih kebersamaan politik. Bagaimana tidak kacau dalam memilih karena peran dua matahari yang sama-sama kuat. Membakar ke dalam bukan malah mendapatkan panggung yang cukup.

Amien Rais harus legawa melepaskan PAN, masih lumayan seperti sekarang, dari pada lepas kendali dan hilang dari sejarah. Amien sebagai deklarator toh akan dicatat tinta emas sejarah PAN sepanjang masih eksis. Coba kalau tinggal sejarah, malah terlupakan. Berat memang melepaskan apa yang dimiliki itu. toh itu sebuah keharusan. Mekanisme alami.

Jika terjadi, matahari tinggal satu dan itu normal. Bisa bebenah dan menapak dengan pasti mau seperti apa PAN ke depan. Test kualitas ketika pilkada serentak sebentar lagi. Bagaimana mereka apakah hanya bangga sebagai penggembira atau ikut dalam pesta dan mendapatkan banyak poin untuk menuju 2024. eLeSHa.

 

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun