Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kerajaan Baru", Manipulator Agama, dan Tabiat Instan di Tengah Lepas Logika Beragama

20 Januari 2020   10:19 Diperbarui: 21 Januari 2020   22:31 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kerajaan Baru, Manipulator Agama,  dan Tabiat Instan di Tengah Lepas Logika Beragama

Kemunculan kerajaan-kerajaan baru sebenarnya hal yang lucu, namun juga miris, ketika itu berkaitan dengan penipuan. Adanya halusinasi dan mimpi soal kekayaan atau harta karun lagi. Kerajaan di Purworeja, disusul di Blora, dan Jawa Barat. Secara politis ini tidak ada apa-apanya. Namun secara hidup bermasyarakat, ada yang perlu dicermati.

Hal yang senada juga sebenarnya telah hadir dan menjadi pembicaraan tidak kalah hangat, bagaimana bisnis biro umroh yang demikian fenomenal, First Travel, Abu Tour, kemudian disusul dengan investasi bodong dengan label syariah dan pohon kurma, atau perumahan syariah. Ini bukan bicara agama, penggunaan agama dalam bisnis, yang berujung pada penipuan.

Aksi manipulator agama ini sejatinya berkaitan dengan uang atau kekuasaan. Sederhana saja ketika hal itu murah meriah dan mendapatkan hasil yang sangat besar, mengapa tidak? Itu kan hukum ekonomi yang paling dasar. Nah ketika politik sudah berkelindan dengan agama dan itu mendapatkan panggung yang spektakuler dan kemudian menang tragis dan strategis, pengulangan dalam bentuk lain menjadi sangat terbuka.

Kekayaan, kemudian kadang juga kekuasaan, dan penghormatan yang berlebihan itu sangat menggoda. Kekuasaan  ketika tidak bisa diperoleh dengan hal yang normal, wajar, dan semestinya. Ya membuatlah dengan berbagai dalih. Mimpi, wangsit, dan sejenisnya diterapkan, dan mirisnya bangsa ini masih demikian mudah terpedaya dengan hal-hal demikian.

Falsafah Jawa sebenarnya memberikan nasihat, aja gumunan, namun entah mengapa malah demikian mudah terpedaya. Suka atau tidak, toh orang Jawa adalah dominasi atas kultur berbangsa. Ketika orang Jawa sudah terpedaya, ya sama saja semua sudah kena. Ternyata malah menjadi pribadi yang gumunan, bukan menjadi pribadi aja gumunan.

Orang demikian mudah gumun, dengan tampang, tampilan, pakaian, atau aksen tertentu. Tentu ini bukan bicara agama atau ras, namun soal kebiasaan hidup berbangsa ini. Dulu kebarat-baratan, kini kearab-araban seolah unggul dan mestii menjadi jaminan segalanya. Padahal berbeda budaya Arab dengan Islam.

Sisi ini yang dimainkan oleh pemilik kepentingan. Sehingga dengan mudah meruyak dalam segala sendii hidup bersama. Beberapa hal, nampaknya bisa menjadi permenungan bersama.

Tabiat minder dan akhirnya menjadi gumunan. Hal ini lucu dan aneh sebenarnya, karena bangsa ini bangsa yang besar. Namun karena model feodalisme di mana-mana, penjajahan Belanda yang model demikian, membuat bangsa ini menjadi penakut dan mudah goyah. Miris sebenarnya.

Pendidikan dan tabiat yang tidak sampai mampu memilah dan memilih. Salah satu yang parah adalah soal beragama. Selain iman itu perlu yang misteri, mistik, toh juga memerlukan logika. Jadi iman bisa dinalar dengan patut. Tidak jatuh pada pemahaman pokoke dan fanatisme sempit.

Pelaku yang memiliki kepentingan ini sudah memetakan kebiasaan anak bangsa yang masih banyak mabuk agama dan tidak mau menalar iman. Malah yang seharusnya ranah misteri iman dinalar, ini sebuah kesengajaan, bukan demikian saja terjadi. Lahan subur yang dimanfaatkan manipulator agama.

Kecenderungan menghargai kemewahan, kekayaan, dan materi, bukan usaha baik yang mendapatkan apresiasi. Lihat saja orang kerjaannya tidak jelas, namun kaya, akan jauh dihargai orang yang bekerja keras namun hidupnya biasa saja. Dalam hampir seluruh segi hidup demikian.

Lihat bagaimana anggota dewan yang kinerjanya nol dan cara duduknya tidak jelas, pas datang ke daerah atau mengunjungi, pasti heboh yang menyambut. Padahal prestasinya tidak ada. Dunia selebritas juga demikian. Prestasi nomor sekian,  sensasi malah menjadi takaran. Bagaimana bisa mantan napi apapun kasusnya masih bisa main film kog di sini. Perceraian dan perselingkuhan malah menjadi komoditi dan menjadi sebuah daya tawar menarik. Kan miris.

Jangan kaget, orang lebih suka sensasi dari pada prestasi. Media pun dikuasai pemberitaan sensasi nol isi dari pada prestasi. Orang berprestasi malah seolah tersingkir dan tersisih.

Tabiat menyontoh yang buruk bukan yang positif. Jauh lebih suka jalan pintas, menyontoh yang buruk bukan yang positif. Hal-hal baik susah menular, namun yang buruk dengan ringan begitu saja menjadi sebuah daya tarik untuk meniru dan memodifikasi sama buruknya.

Kerajaan baru itu sejatinya hanya mencari sensasi dan ujungnya uang. Demikian juga investasi ini dan itu. Bagaimana elit itu pun demikian. Bagaimana mereka berjuang demi kekuasaan dan uang. Dan kebetulan banyak yang bisa termanipulasi.

Apa iya hanya dibiarkan menguap begitu saja? Sebenarnya tidak, kita patut membangun beberapa hal;

Budaya baca, melek literasi. Jika orang banyak membaca akan memiliki pemahaman yang lebih luas. Jadi tidak mudah gumun dan mudah goyah dalam keyakinan dan kagum dengan penampilan atau asesoris. Dengan membaca orang jadi bertambah pengetahuan dan akhirnya pengalaman.

Pendidikan, pendidikan bukan semata transfer ilmu dan pengetahuan, apalagi hafalan, teks book, dan menyalin diktat dalam kertas ujian, bagaimana pendidikan mampu memilah dan memilih. Bayangkan saja dokter bisa terkena tipu dan pelecehan seksual oleh paranormal jejadian. Ini kan ironis.

Agama, bukan sekadar ritual dan banyaknya hafalan, namun bagaimana mereka mengamalkan di dalam perihidup mereka. Miris kadang elit agama pun terlibat di dalam tabiat instan ini.

Semua memang perlu dijalani dan dilalui kemudian menemukan titik temu dan perbaikan yang lebih baik ke depannya. Pengalaman yang mendewasakan.eLeSHa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun