Kecenderungan menghargai kemewahan, kekayaan, dan materi, bukan usaha baik yang mendapatkan apresiasi. Lihat saja orang kerjaannya tidak jelas, namun kaya, akan jauh dihargai orang yang bekerja keras namun hidupnya biasa saja. Dalam hampir seluruh segi hidup demikian.
Lihat bagaimana anggota dewan yang kinerjanya nol dan cara duduknya tidak jelas, pas datang ke daerah atau mengunjungi, pasti heboh yang menyambut. Padahal prestasinya tidak ada. Dunia selebritas juga demikian. Prestasi nomor sekian, Â sensasi malah menjadi takaran. Bagaimana bisa mantan napi apapun kasusnya masih bisa main film kog di sini. Perceraian dan perselingkuhan malah menjadi komoditi dan menjadi sebuah daya tawar menarik. Kan miris.
Jangan kaget, orang lebih suka sensasi dari pada prestasi. Media pun dikuasai pemberitaan sensasi nol isi dari pada prestasi. Orang berprestasi malah seolah tersingkir dan tersisih.
Tabiat menyontoh yang buruk bukan yang positif. Jauh lebih suka jalan pintas, menyontoh yang buruk bukan yang positif. Hal-hal baik susah menular, namun yang buruk dengan ringan begitu saja menjadi sebuah daya tarik untuk meniru dan memodifikasi sama buruknya.
Kerajaan baru itu sejatinya hanya mencari sensasi dan ujungnya uang. Demikian juga investasi ini dan itu. Bagaimana elit itu pun demikian. Bagaimana mereka berjuang demi kekuasaan dan uang. Dan kebetulan banyak yang bisa termanipulasi.
Apa iya hanya dibiarkan menguap begitu saja? Sebenarnya tidak, kita patut membangun beberapa hal;
Budaya baca, melek literasi. Jika orang banyak membaca akan memiliki pemahaman yang lebih luas. Jadi tidak mudah gumun dan mudah goyah dalam keyakinan dan kagum dengan penampilan atau asesoris. Dengan membaca orang jadi bertambah pengetahuan dan akhirnya pengalaman.
Pendidikan, pendidikan bukan semata transfer ilmu dan pengetahuan, apalagi hafalan, teks book, dan menyalin diktat dalam kertas ujian, bagaimana pendidikan mampu memilah dan memilih. Bayangkan saja dokter bisa terkena tipu dan pelecehan seksual oleh paranormal jejadian. Ini kan ironis.
Agama, bukan sekadar ritual dan banyaknya hafalan, namun bagaimana mereka mengamalkan di dalam perihidup mereka. Miris kadang elit agama pun terlibat di dalam tabiat instan ini.
Semua memang perlu dijalani dan dilalui kemudian menemukan titik temu dan perbaikan yang lebih baik ke depannya. Pengalaman yang mendewasakan.eLeSHa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H