Banjir Jakarta masih cukup panas untuk dibiarkan menguap. Lha sudah selesai, masih saja ada demo antara mendukung dan menolak Anies. Lucu sebenarnya, ya sudahlah, konsekuensi demokrasi.Â
Demo yang sama sekali tidak memberikan bantuan apapun untuk kebaikan bersama. Malah cenderung politik dan dikotomis akut yang tercipta. Ya sudahlah.
Eh malah ada peristiwa yang identik di Surabaya. Banjir yang sama melanda. Hanya berbeda sikap dan reaksi sehingga cepat surut dan pulih. Ternyata ada kejadian di luar keadaan ideal terlambat membuka pintu air, dan air memenuhi kota. Dan reaksi dan pernyataan menyalahkan pintu atau petugas pintu toh tidak ada. Jelas itu membawa dampak baik dan tidak menjadi riuh rendah.
Posisi dua daerah, dua posisi yang berbeda, dengan kisah yang sama, namun penyelesaian yang jauh berbeda. Mengapa? Sikap mental dan pola kepemimpinan.Â
Lucunya mereka berdua sangat berpeluang untuk berkompetisi pada pemilihan gubernur periode mendatang. Cukup menarik dan layak ditunggu. Semoga para petinggi parpol bisa mengakomodasi kerinduan banyak rakyat melihat mereka bisa duduk dalam panggung yang sama.
Banjir Surabaya cepat surut karena memang air antri masuk pada saluran air yang mengantar mereka pada muaranya. Jelas, karena gorong-gorong memang diciptakan oleh pemimpin Surabaya secara serius.Â
Pengerukan dan pelebaran lebar sungai dilakukan. Realistis. Karena kondisi tidak lagi ideal, yang bisa dilakukan adalah cara praktis sepanjang itu mungkin.
Anies benar dalam konteks untuk membuat bumi ebih baik, namun ia melompati satu fase, entah tidak tahu karena nyomot gagasan, atau sengaja karena hanya demi beda dengan Ahok dan Jokowi.Â
Entahlah. Yang jelas dibahasakan dengan bahasa agamis, sunattulah, memasukan ari ke dalam bumi. Kondisi ideal memang mungkin. Tetapi kala tanah sudah jenuh dengan air, mau apa?
Kondisi yang diabaikan soal naturalisasi oleh Anies adalah lebar dan kedalaman sungai itu sudah jauh dari idealnya. Debit air sudah tidak akan tertampung, padahal kondisi penanggulangan banjir sangat mendesak.Â
Mengembalikan kepada posisi awal seperti alamiahnya memang bagus dan penting, namun apa cukup setahun dua tahun dengan penuh rumah, bangunan, dan juga sampah karena perilaku jorok yang sekian lama terabaikan.
Ternyata Risma memilih "menolak" sunattulah karena pertimbangan ini mendesak. Akan berbeda jika itu dilakukan di kota yang langganan banjir yo susah.Â
Contoh sederhana saja, penanganan Kali Tuntang di Tuntang sangat mungkin dengan naturalisasi, mengembalikan yang dulunya sempadan sungai kini jadi sawah kepada kondisi awal, karena tidak mendesak menahan limpahan banjir.
Apa mungkin hal yang sama di lakukan di Demak dan Kudus dengan aliran sungai yang sama? Jelas tidak. Satu sungai namun kondisi yang berbeda. Jauh lebih realistis dengan normalisasi dengan beton dan tanggul tinggi. Â Toh tanggul bisa juga alami atau minimal tampak alami dengan taman terbuka hijau.
Kondisi mendesak atau biasa juga turut menentukan keputusan. Kala berbicara menimalkan kepentingan bisa terjadi hal yang lebih ideal. Namun jangan harap jika mengedepankan kepentingan, politis lagi, ya sudah berantakan.
"Sunatullah" kedua yang sangat mungkin akan Risma lawan adalah soal kepemimpinan di Jakarta. Susah melepaskan labeling perempuan memimpin dengan tanpa ribet dan ribut di Jakarta. Lihat saja bagaimana perilaku masa lalu ugal-ugalannya Jakarta di dalam menggunakan segala cara untuk menang. Salah satunya adalah terminologi agama.
Jika keluar anti perempuan memimpin Jakarta, jadi benar kali kedua Risma melawan "sunattulah" ala Anies. Sikap Risma yang sudah menyatakan kesanggupan dengan bahasa bersayap sepanjang didukung warga, dan partai tentunya. Partai toh sejak lama sudah mau mengusungnya, namun ia menolak. Kali ini kemungkinan maju sangat mungkin.
Posisi rival terkuat adalah Anies dan yang di belakangnya kemungkinan besar sama. Â PKS dengan segala kelucuannya sulit untuk ikut gerbong PDI-P tentunya.Â
Dan sebagian besar birokrat dan dewan Jakarta juga enggan dengan kehadiran Risma. Enakan yang ini, bebas merdeka, soal rakyat jengah karena pernah enak, beda pandangan dan kasus tentunya.
Rakyat tentu akan senang dengan wacana Risma maju Pilkada DKI. Mengapa? Enggan banjir lagi. Pernah bebas banjir juga. Kota modern bisa ada di Surabaya. Jakarta yang pernah menggeliat tentu rakyat rindukan kembali.
Masalah pada posisi birokrasi dan dewan yang nyaman dengan model ini. Lihat saja hanya pencitraan dengan mengatakan kaget tiba-tiba ada anggaran yang muncul. Namun tidak juga melakukan aksi apapun.Â
Mengapa? Kan enak, mengapa harus susah-susah. Lucu saja ketika ada rumah kemalingan, eh penghuninya, eh kaget, kamu maling kenapa di sini? Keren ya dewan Jakarta?
Hal-hal ini yang menjadi hambatan bagi Risma seperti era Ahok yang lalu. Namun Risma berbeda dengan Ahok, toh bisa menjadi anak buah dari Gubernur Jawa Timur yang sangat mungkin berbeda dalam menyikapi persoalan. Pun dengan dewan di Surabaya tidak terdengar keributan.
Posisi kader parpol juga menguntungkan dalam kondisi politik bangsa ini seperti ini. Susah menjadi pimpinan daerah tanpa parpol.
Falsafah Jawa mengatakan, kebak sundukane, sate itu kalau terlalu banyak potongan dagingnya tidak akan bisa tertancap dan menampung bukan? Dan naga-naganya hal yang sama akan terjadi di Jakarta. eLeSHa.
Â
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H