Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Skandal Kasih

13 Januari 2020   18:26 Diperbarui: 13 Januari 2020   18:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Skandal Kasih

"Le, bangun," tepukan lembut itu aku tepiskan.

Tepukan agak lebih keras, dan bisikan di telingan, "Bangun..." tetap dengan lirih.

Aku kaget, ternyata Rama Budi yang membangunkan, dengan bahasa isyarat melambaikan tangan untuk ikut beliau. Antara sadar dan tidak, bingung baru saja tidur dengan pulas, dibangunkan. Dan memasuki tahun ketiga baru kali ini tahu bahkan mengalami.

Aku tepiskan karena yang biasanya bangunkan anak-anak, biasa beli nasi goreng sambil keluar malam. Apalagi ini malam Minggu, toh tidak sesore ini, pun tidak juga aku janji dengan anak-anak mau nasgoran. Ini yang membuat aku reflek menepiskan tangan tadi.

Sudah ada di depan kamar Rama Budi, "Masuk, sini, minum dulu biar kamu bangun, kemudian cuci muka, di wastafel itu," tunjuk Rama beruntun.

Aku mengambil air putih hangat yang disediakan, dan mencuci muka di tempat yang ditunjukkan tadi. Aku masih bingung.

"Tadi mamamu telpon dan memintakan izin kamu untuk pulang, sekarang, sopir mamamu sudah ada, di depan. Tidak usah bawa apa-apa, kamu pulang saja sekarang, dan sebelum kegiatan besok sore kamu sudah sampai seminari lagi," tanpa ada jeda, perintah yang lugas, tegas, dan jelas itu ditutup dengan berkat untuk kepulanganku.

Aku di antar oleh Rama Budi sampai depan dan memesan yang sama kepada Pak Markus sopir mama. Besok sore sebelum pukul 16.30, aku sudah harus sampai sini, kecuali mau dipaketkan barang-barangku. Tanpa senyum, tanpa ekspresi, dan begitu ciri Rama Budi kalau berbicara serius.

Aku pamit dan mohon diri dengan bersalaman, tanpa bisa bicara. Pak Markus membungkukan badan dan pamit ke pamongku itu. Mobil perlahan keluar gerbang, ada yang seolah hilang dan ini adalah aku melihat "rumah" ku itu terakhir kalinya, meski malam aku tetap menoleh dan masih melihat pintu ditutup dari dalam.

Saat aku bertanya ada apa, Pak Markus malah memintaku tidur karena paham jam tidur di asrama, dan kali ini adalah jam tidur. Aku tidak bisa tidur. Pinjam hape, Pak Markus juga ditolak dengan halus, katanya baterenya kosong. Kan tidak mungkin. Jelas ini rekaan Mama, Pak Markus, dan jelas Rama Budi.

Perjalanan ke kotaku dengan kendaraan pribadi, dan malam seperti ini, berkisar 1.5-2 jam. Aku penasaran. Tadi dalam makan malam diberitakan, kalau Rama Rektor mengalami kecelakaan dan sedang opname di sebuah rumah sakit, dan kebetulan di kotaku. Mohon doa dari para seminaris karena kondisinya kritis.

Aku malah terbayang semalam ketika colloquium, sudah menjelang tahun terakhir, biasa diminta menentukan sikap lanjut atau keluar. Dan aku masih yakin lanjut, dan aku memang sering menjadi kendala mengenai keberadaan keluargaku yang singel parent, ini selalu aku ungkapkan sejak mau masuk, dan para rama dan pembimbing mengatakan itu bukan halangan yang berarti dalam panggilan, asal aku serius dan berserah pada kehendak Allah.

Rama Albert, masih cukup muda untuk memegang jabatan rektor. Beliau membuka-buka fileku, dan sebagai anak kelas dua, sangat hafal dengan kebiasaan kalau wawancara. Cukup kaget juga aku, ketika Rama menjautuhkan file bukan karena tidak sengaja, namun karena kaget. Sambil menguasai keadaan beliau bertanya,

"Benar, mamamu Elisabeth Suryaningtyas Sumarto?", kelihatan kaget, dan ada getaran.

"Iya, Rama, sambil kaget karena beliau demikian pucat dan bergetar bibirnya. Entah mengapa, yang jelas memang beliau menjalankan taun orientasi pastoral di kota kakekku. Aku tahu persis karena memang ada photo-photo beliau dalam album di rumah kakek.

"Sudah cukup wawancaranya ya, bilang teman-temanmu, yang jadwal malam ini ditunda, nanti jadwal menyusul, Rama agak tidak enak badan tiba-tiba," sambil mengantarku keluar.

Mobil berbelok, bukan ke arah rumah, dan malah mengarah ke rumah sakit, dan kan di sana Rama Rektor dirawat, tambah bingung, apalagi tadi pagi jadwal Rama Rektor juga tidak misa, diganti Rama Anton, yang sama perfeksionis, dan harus peralatan dan pakaian misa yang milik dan favorit mereka, coba lima belas menit sudah tahu, lha ini, tinggal lima menit harus mengganti semua, biasa sih, Cuma agak ribet pagi-pagi.

Eh kejutan dini hari ini lagi, "Pak, siapa yang sakit, kog kita ke rumah sakit," tanyaku denga bingung.

"Nanti saja Mas, Mama yang akan mengatakannya..." jawab Pak Markus dengan lirih dan juga cemas kelihatannya.

Nah kan bener feelingku, menuju paviliun, bukan kamar perawatan biasa, dibiasa di sana  memang para rama dan biarawan-biarawati di rawat. Satpam membukan dan mempersilakan tanpa banyak tanya, jelas mama sudah memberitahukan hal ini. Parkir belum juga selesai, mama sudah membuka pintu dan memelukku.

"Ayo, kita akan mengetahui dan berbicara hal mahapenting, Mama harap kamu tidak perlu kaget, atau yang lain. Mama mendidik kamu menjadi pribadi kuat dan tidak pernah menyalahkan keadaan. Memang ini sangat tidak mudah bagi kamu, apalagi dini hari seperti ini. Mama mengizinkan kamu masuk seminari, agar kamu mampu menanggung ketika mendengar dan mengetahu fakta ini" lagi-lagi perintah panjang-panjang dan monolog yang aku temui sejak berjam lalu.

Benarkan, menuju kamar sebagaimana pengumuman di ruang makan tadi, ini kamar Rama Albert, ada apa sih?

"Ma, ini ada apa,  apa kaitannya dengan Rama Rektor...."

Tidak ada jawaban dan mama masuk begitu saja ke kamar perawatan Rama Albert, di sana ternyata ada Bapa Uskup, orang tua dari Rama Albert, yang memang asalnya dari kota sebelah, dan kakek-nenek. Aku mencium tangan Bapa Uskup, kakek nenek, dan juga orang tua Rama Albert yang aku pernah tahu waktu  kedatangan beliau pertama kali, mereka ikut menyambut di seminari.

"Maaf, Bapa Uskup, Bapak-Ibu, dan kau Nak, ini kesalahan Mama. Semua tolong dengarkan dulu, jangan mencela, menyela, dan mengatakan apapun. Sekali lagi ini kesalahan saya pribadi dan memang melibatkan Fr Albert waktu itu," Mama masih biasa, aku tahu beliau tegar dan tidak pedulian, aku bisa sedikit meraba ke mana arahnya.

"Nak, kamu yang paling berhak tahu, bahwa ini kesalahan Mama, yang memang naksir berat pada Frater Albert dan lahirlah kamu, dan maaf jika kamu menderita karena kisah tidak benar yang Mama karang, juga kepada Eyang berdua, saya mohon maaf, merahasiakan hingga belasan tahun ini. Sama sekali tidak menyangka kalau Frater Albert menjadi rektor Xandro, dan siang tadi Rama Albert datang ke kantor dan menanyakan itu." Sama sekali Mama tidak mengeluarkan air mata.

"Bapa Uskup, saya juga mohon ampun, Rama Albert tidak salah sama sekali, ini saya yang menggoda, dan makanya saya tidak menuntut karena saya toh bahagia dengan Xandro dan  maaf pilihan ngawur saya dulu. Saya merasa ini waktu terakhir Albert tahu kebenarannya, usai mencari saya tadi dia kecelakaan".

"Nak...." hanya itu ucapan Rama Albert dan kemudian meminta minyak suci kepada Bapa Uskup, pertemuan keluarga pertama dan terakhir.eLeSHa.

Terima kasih dan salam

*colloqium=wawancara

**Rama Rektor, kepada asrama dan sekolah di sebuah seminari

***Rama Pamong, pengasuh angkatan di seminari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun