Beberapa hari lalu, dalam pameran Tenun dan Pewarna Alam yang digawangi Kompasianer Leya Soeratman, EMPU, dalam sebuah sesi ada nara sumber yang menyebut penanggangan banjir dan maskulinitas baru. Cukup menarik dan itu adalah pengalaman baru. Â Bagaimana selama ini orang cenderung menghadapi alam dengan paradigma kelalaki-lakian.
Bahasa-bahasa laki-laki atau maskulinitas itu cenderung, kasar, tegas, pasti, dan bernada tidak boleh tidak harus demikian. Hal ini berkaitan dengan sifat laki-laki yang memang eksploratif, mengelaborasi, dan mengelola alam dengan kekuatan. Tidak heran apa yang ditampilkan adalah garang, tegas, jelas, prinsip, dan megah, serta gagah.
Ungkapan yang terlontar seperti kendalikan, atasi, dan kemudian malah juga ada yang menggunakan kata tangkap. Lihat itu semua adalah aktivitas kelaki-lakian, maskulinitas, dan sosok laki yang menguasai bumi. Padahal namanya  ibu pertiwi, bukan bapak pertiwi, namun menyelaraskan alam ala laki-laki.
Ketika Anies menelorkan istilah naturalisasi dan berbicara kepada air dan banjir, mengapa reaksinya tidak sepadan, aliasi sinis, beberapa kesalahan Anies yang perlu dilihat, baik politis ataupun memang ranah fraksis.
Pertama, suka atau tidak, posisi Anies adalah musuh publik, sematan ia merampas kemenangan demokratis itu tidak bisa lepas begitu saja. Tegangan politis ini membuat gagasan baru yang ditawarkan Anies diterima secara skeptis. Ini kendala paling mendasar, meskipun tidak paling kuat.
Kedua, Anies tidak memiliki konsep apalagi implementasi atas apa yang ia nyatakan. Rekam jejaknya yang memang demikian semakin membuat publik tidak percaya dan malah menjadi bahan olok-olokan. Konsep bagus tanpa tindakan nyata ya sama juga bohong.
Ketiga, keberadaan polarisasi politik membuat apapun yang digagas akan menjadi bahan serangan dari kubu yang sejak awal memang tidak memilihnya. Posisi pendukungnya juga tidak paham untuk memberikan pembelaan. Akhirnya ya hanya menjadi sebuah debat kusir yang tidak berkesudahan.
Keempat, malah TGUPP sebagai pemikir Anies juga menggunakan terminologi maskulinitas, tangkap air hujan. Artinya konsep komunikasi dan naturalisasi itu oleh timnya sendiri  pun belum dipahami dengan baik.
Kelima, perilaku feminin itu lama, pelan, dan hati-hati. Jelas ini menjadi bahan olok-olokan, karena perilaku Ahok yang memang sangat laki. Ia cepat, lugas, dan tegas. Dan memang kondisi ini perlu yang demikian, karena keadaan memang sudah sangat kritis. Tidak salah, hanya kurang realistis. Pembiaran berpuluh-puluh tahun tidak bisa dilakukan dengan pelan, harus progresif.
Sebenarnya ide, gagasan, dan wacana Anies baik dan memang harus demikian, namun melihat keberadaan dan catatan di atas, jelas bukan menjadi ideal. Seolah muspra karena keadaan faktual dan pendukungnya sama-sama keliru.
Penanganan dengan sifat keibuan sebagai jati diri bumi benar dan tepat, namun tidak ketika itu menyangkut Jakarta dan demikian banyaknya persoalan yang melingkupinya. Keberadaan kali yang tidak lagi jelas seperti apa, perilaku buruk warga dan elitnya, dan juga kebetulan curah hujan sangat ekstrem tinggi. Kolaborasi apik untuk pembelajaran bersama.
Maskulinitas baru. Perilaku eksploratif, menguasai, mengendalikan, dan menyelesaikan, perlu sentuhan baru. Bumi, alam, dan termasuk sungai adalah sesama kita, manusia itu sebagian dari alam semesta ini, namun mengapa malah seolah menjadi penguasa jahanam. Padahal tidak demikian perutusan manusia itu.
Mengupayakan untuk perihidup, mengusahakan dan mengolah bumi untuk kesejahteraan, bukan malah mengesplorasi berlebihan demi gaya hidup. Ini yang tidak pas dan selayaknya terjadi. Alam sebagai bagian utuh harus selaras dengan hidup manusia. Manusia menyelaraskan dengan alam bukan sebaliknya.
Nah selama ini manusia itu semena-mena, padahal apa yang manusia berikan kepada alam? Mengambil iya, udara, air, tanah, dan demikian banyak limpahan dari alam, dan tidak ada timbal baliknya sama sekali.
Gagasan baik untuk kembali berdialog dengan alam, itu dunia spiritual. Dan Anies terjebak pada istilah yang sepertinya dia tidak paham. Jangan salahkan ketika orang menjadi curiga bahwa ia memainkan narasi agama, sejatinya tidak. Hanya memang ia tidak sampai menjelaskan lebih jauh, pun tidak melakukan apa-apa untuk memberikan gambaran utuh keselarasan alam.
Jakarta perlu cepat, karena berkejaran dengan alam yang semakin lama semakin tidak sabar juga menghadapi ulah ugal-ugalan manusia. Keselarasan yang sekian lama hilang itu, oleh bumi direspons dengan kembali pada hakikat alam, bumi telah memiliki hukum sendiri, bukan malah harus tunduk pada manusia dengan segala arogansinya.
Kolaborasi bukan semata  dengan pemerintah pusat, namun juga dengan para pegiat dan pecinta alam yang memiliki kepedulian merawat. Jangan lagi hanya bertikai siapa menang, namun ada kerendahan hati untuk merawat bumi, bukan menguasai lagi. Perawatan, kembalikan pada kodratnya, dan hindari lagi mengekang dan mengatur alam sekehendaknya manusia saja.
Sudah tidak saatnya lagi menyalahkan ini dan itu, saling serang dan sindir yang tidak menyelesaikan masalah. Selaras dengan alam menjadi penting. eLeSHa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H