Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Maskulinitas Baru dan Lima Kesalahan Anies Baswedan atas Naturalisasi Sungai

10 Januari 2020   22:01 Diperbarui: 10 Januari 2020   22:16 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari lalu, dalam pameran Tenun dan Pewarna Alam yang digawangi Kompasianer Leya Soeratman, EMPU, dalam sebuah sesi ada nara sumber yang menyebut penanggangan banjir dan maskulinitas baru. Cukup menarik dan itu adalah pengalaman baru.  Bagaimana selama ini orang cenderung menghadapi alam dengan paradigma kelalaki-lakian.

Bahasa-bahasa laki-laki atau maskulinitas itu cenderung, kasar, tegas, pasti, dan bernada tidak boleh tidak harus demikian. Hal ini berkaitan dengan sifat laki-laki yang memang eksploratif, mengelaborasi, dan mengelola alam dengan kekuatan. Tidak heran apa yang ditampilkan adalah garang, tegas, jelas, prinsip, dan megah, serta gagah.

Ungkapan yang terlontar seperti kendalikan, atasi, dan kemudian malah juga ada yang menggunakan kata tangkap. Lihat itu semua adalah aktivitas kelaki-lakian, maskulinitas, dan sosok laki yang menguasai bumi. Padahal namanya  ibu pertiwi, bukan bapak pertiwi, namun menyelaraskan alam ala laki-laki.

Ketika Anies menelorkan istilah naturalisasi dan berbicara kepada air dan banjir, mengapa reaksinya tidak sepadan, aliasi sinis, beberapa kesalahan Anies yang perlu dilihat, baik politis ataupun memang ranah fraksis.

Pertama, suka atau tidak, posisi Anies adalah musuh publik, sematan ia merampas kemenangan demokratis itu tidak bisa lepas begitu saja. Tegangan politis ini membuat gagasan baru yang ditawarkan Anies diterima secara skeptis. Ini kendala paling mendasar, meskipun tidak paling kuat.

Kedua, Anies tidak memiliki konsep apalagi implementasi atas apa yang ia nyatakan. Rekam jejaknya yang memang demikian semakin membuat publik tidak percaya dan malah menjadi bahan olok-olokan. Konsep bagus tanpa tindakan nyata ya sama juga bohong.

Ketiga, keberadaan polarisasi politik membuat apapun yang digagas akan menjadi bahan serangan dari kubu yang sejak awal memang tidak memilihnya. Posisi pendukungnya juga tidak paham untuk memberikan pembelaan. Akhirnya ya hanya menjadi sebuah debat kusir yang tidak berkesudahan.

Keempat, malah TGUPP sebagai pemikir Anies juga menggunakan terminologi maskulinitas, tangkap air hujan. Artinya konsep komunikasi dan naturalisasi itu oleh timnya sendiri  pun belum dipahami dengan baik.

Kelima, perilaku feminin itu lama, pelan, dan hati-hati. Jelas ini menjadi bahan olok-olokan, karena perilaku Ahok yang memang sangat laki. Ia cepat, lugas, dan tegas. Dan memang kondisi ini perlu yang demikian, karena keadaan memang sudah sangat kritis. Tidak salah, hanya kurang realistis. Pembiaran berpuluh-puluh tahun tidak bisa dilakukan dengan pelan, harus progresif.

Sebenarnya ide, gagasan, dan wacana Anies baik dan memang harus demikian, namun melihat keberadaan dan catatan di atas, jelas bukan menjadi ideal. Seolah muspra karena keadaan faktual dan pendukungnya sama-sama keliru.

Penanganan dengan sifat keibuan sebagai jati diri bumi benar dan tepat, namun tidak ketika itu menyangkut Jakarta dan demikian banyaknya persoalan yang melingkupinya. Keberadaan kali yang tidak lagi jelas seperti apa, perilaku buruk warga dan elitnya, dan juga kebetulan curah hujan sangat ekstrem tinggi. Kolaborasi apik untuk pembelajaran bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun