Urusan hubungan seksual tidak berkaitan dengan tahun baru dan keberadaan alat kontrasepsi semata. Itu adalah urusan otak dan itu yang perlu dibenahi bukan dengan merasia keberadaan alat kontrasepsi.
Kedua, keberadaan alat kontrasepsi sangat mungkin diperlukan bagi para pasangan suami-istri sah yang hendak merayakan pergantian tahun dengan intim berdua, dan tidak hendak memiliki bayi dengan banyak pertimbangan. Penyitaan ini bisa menjadi masalah, karena lagi-lagi rasia atas dasar asumsi, bukan dasar riset mendalam.
Ketiga, bagaimana keberadaan par pengidap risiko tinggi seperti HIV dan lain-lain yang berpasangan dan mau merayakan pergantian tahun dengan intim. Jangan gebyah uyah dan malah menjadi petaka lain karena kekurangan pengetahuan dan menyederhanakan persoalan. Ini serius, bukan semata free sex semata.
Keempat, asumsi buruk yang mengandalkan perkiraan bukan pemetaan permasalahan dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan, pemerintahan lagi. Ranah yang berbeda secara gegabah dijadikan sama.
Kelima, kondom itu alat kontrasepsi, salah satu alat, dan keberadaannya jangan hanya disederhanakan untuk kalangan muda dan belum menikah. Seolah-olah ranah moral dipaksakan pad ranah sosial dan bisa pula kesehatan. Ini kekacauan berpikir yang perlu pembenahan mendalam.
Mengapa toleransi dan alat kontrasepsi menjadi satu ulasan?
Ada kesamaan kekacauan persepsi, asumsi, dan kemudian konklusi yang cukup mendasar. Apalagi jika itu dilakukan oleh pejabat publik. Jika itu dilakukan kalangan bawah, akar rumput, masih lah bisa diterima dengan catatan. Lha kalau sekelas bupati ke atas, kan gawat. Apalagi dbaca khalayak luas hingga global. Tidak heran kapal Vietnam dan China berani menghina lha pejabat kita memang tarafnya segitu.
Seoalh menyelesaikan masalah, padahal hanya menutupi, menambal persoalan dengan aksi seremoni atau selebrasi semata. Persoalan yang ada sama sekali belum dibenahi. Dan itu hampir semua masalah ditutupi dengan cara yang sama.
Bangsa ini besar, kaya, namun banyak dikelola dengan amatiran. Mirisnya atas nama otonomi daerah raja-raja kecil bisa menafsirkan sesuai dengan pemahaman pribadi dan itu adalah kekacauan demi kekacauan. Padahal jika mau sedikit saja belajar, akan bisa menyelesaikan dengan jauh lebih baik dan bijak kog. eLeSHa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H