Rasia Kondom Tahun Baru, dan Kala Toleransi Semata Selebrasi
Ikut prihatin bagi masyarakat Jakarta yang sedang mengalami banjir, dan Selamat Tahun Baru. Ada dua tema besar namun identik, berbicara masalah yang esensial, bukan semata SOP atau selebrasi malahan. Â Dan mirisnya dilakukan elit bahkan resmi dengan perintah pemerintah setempat.
Dua kisah besar pada akhir tahun yang patut dilihat lebih dalam. Ingat ini bukan semata soal Anies Baswedan nyelonong saat Misa. Kira-kira dua tahunan lah paket Natal Paskah, ada formika datang, menyalami umat yang mau beribadah. Ini sih bagus, baik, namun apakah tepat?
Sesaat sebelum ibadah itu bukan waktu untuk "basa-basi" saat teduh, saat hening orang untuk mempersiapkan batin dan hati mau beribadah. Menyalami, mengucapkan selamat itu tidak harus seperti itu. Pun toleransi bukan semata, sesederhana, dan seperti itu, jauh lebih penting adalah kebijakan yang adil, dan menyeluruh tanpa pandang bulu. Tanpa ucapan jika hidup dengan apa adanya apapun agamanya, akan terjadi hidup rukun dan damai.
Natalan dan pesta natal. Ada sebuah status media sosial yang membahasa larangan pejabat publik merayakan Natal, dan menggunakan kata Misa. Jelas ini salah dan tidak benar. Misa, kebaktian, dan Ibadah lainnya tentu tidak akan mengundang pejabat, pemuka agama lain, mana ada sih, umpama Sholat Idul Fitri apa iya mengundang pastor, pendeta, bikhu ke sana, jelas tidak mungkin.
Pesta Natal, seperti yang Presiden Jokowi ikuti kematrin itu, pesta, perayaan, bukan ibadah, bukan pula Misa, dan senada dengan halal bi halal jika Idul Fitri, bukan ritual keagamaan Kristiani. Ini yang perlu menjadi perhatian bersama, sehingga polemik setiap tahun yang terus terulang itu tidak malah menjadi batu sandungan di dalam persiapan Natal.
Maunya tenang, damai, dan merayakan dengan ska cita, toh terganggu juga jika membaca seliweran lini massa yang itu lagi itu lagi. Seolah hidup beragama dan berbangsa kog tidak berkembang. Malah lucu lagi menuduh minta ucapan lagi. Ucapan atau tidak itu sama sekali tidak menambah atau mengurangi kadar beriman.
Persitilahan saja kacau dan tidak mau tahu kemudian berbicara toleransi, ya tidak ketemu. Kata kuncinya adalah mau tahu dan memahami tanpa harus mengorbankan apapun, apalagi imannya. Mosok belajar untuk istilah saja jadi kadar imannya hilang, dan apa iya ilmu mengaburkan iman? Ini mendasar, namun sering diabaikan dan ketakutan atas bayangan ini yang menjadi ajang politis sebagian pihak untuk mengail di air keruh.
Rasia Kondom dan Perilaku Seksual Bebas Tahun Baru.
Pemberitaan akhir tahun kemarin cukup hangat dengan berbagi status soal rasia kondom karena ditengai penjualan meningkat saat momen pergantian tahun. Entah apa yang dijadikan rujukan, apa kata marketing atau apa, yang jelas ada sebuah daerah mengerahkan satpol PP untuk "menyita" kondom dan mengembalika usai tahun berganti.
Ada beberapa hal konyol kalau tidak terlalu kasar dikatakan bloon:
Urusan hubungan seksual tidak berkaitan dengan tahun baru dan keberadaan alat kontrasepsi semata. Itu adalah urusan otak dan itu yang perlu dibenahi bukan dengan merasia keberadaan alat kontrasepsi.
Kedua, keberadaan alat kontrasepsi sangat mungkin diperlukan bagi para pasangan suami-istri sah yang hendak merayakan pergantian tahun dengan intim berdua, dan tidak hendak memiliki bayi dengan banyak pertimbangan. Penyitaan ini bisa menjadi masalah, karena lagi-lagi rasia atas dasar asumsi, bukan dasar riset mendalam.
Ketiga, bagaimana keberadaan par pengidap risiko tinggi seperti HIV dan lain-lain yang berpasangan dan mau merayakan pergantian tahun dengan intim. Jangan gebyah uyah dan malah menjadi petaka lain karena kekurangan pengetahuan dan menyederhanakan persoalan. Ini serius, bukan semata free sex semata.
Keempat, asumsi buruk yang mengandalkan perkiraan bukan pemetaan permasalahan dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan, pemerintahan lagi. Ranah yang berbeda secara gegabah dijadikan sama.
Kelima, kondom itu alat kontrasepsi, salah satu alat, dan keberadaannya jangan hanya disederhanakan untuk kalangan muda dan belum menikah. Seolah-olah ranah moral dipaksakan pad ranah sosial dan bisa pula kesehatan. Ini kekacauan berpikir yang perlu pembenahan mendalam.
Mengapa toleransi dan alat kontrasepsi menjadi satu ulasan?
Ada kesamaan kekacauan persepsi, asumsi, dan kemudian konklusi yang cukup mendasar. Apalagi jika itu dilakukan oleh pejabat publik. Jika itu dilakukan kalangan bawah, akar rumput, masih lah bisa diterima dengan catatan. Lha kalau sekelas bupati ke atas, kan gawat. Apalagi dbaca khalayak luas hingga global. Tidak heran kapal Vietnam dan China berani menghina lha pejabat kita memang tarafnya segitu.
Seoalh menyelesaikan masalah, padahal hanya menutupi, menambal persoalan dengan aksi seremoni atau selebrasi semata. Persoalan yang ada sama sekali belum dibenahi. Dan itu hampir semua masalah ditutupi dengan cara yang sama.
Bangsa ini besar, kaya, namun banyak dikelola dengan amatiran. Mirisnya atas nama otonomi daerah raja-raja kecil bisa menafsirkan sesuai dengan pemahaman pribadi dan itu adalah kekacauan demi kekacauan. Padahal jika mau sedikit saja belajar, akan bisa menyelesaikan dengan jauh lebih baik dan bijak kog. eLeSHa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H