Banser, Polisi, dan Harley Davidson
Beberapa hari terakhir, media, baik sosial ataupun arus utama menyuguhkan dua kejadian sangat menarik. pertama mengenai seorang anggota Banser yang diprovokasi dan dipersekusi oleh oknum pegiat ormas dengan begitu keras, namun tetap tenang, sabar, dan tidak terpancing. Lebih luas nanti dalam ulasan.
Kedua, mengenai kecelakaan yang menimpa seorang nenek dan cucunya karena terlanggar sepeda motor gede, HD. Sorotan pada si kakek yang panik malah kemungkinan besar mendapatkan "bentakan" dari polisi. Cukup menarik, jika berhadapan dan diperbandingkan dengan Banser.
Mengenai kisah provokasi dan tetap tenang dulu. Pernah dalam komunitas studi, ada rekan kami yang mendapatkan julukan Crist John. Maaf Crist, rekan ini emosional, tiap tidak suka atau ada yang menyebabkannya tersinggung, selalu ngamuk dan menantang berkelahi. Unik dan menggelikan, ketika yang ditantang ini malah ngakak dan pergi, enggan ribet dan ribut, lha efeke DO je, eh rekan lain yang melihat pasti berkomentar, napa gak kau gampar, pasti kami akan membelamu dan ikut memukuli, itu selalu terjadi, pun ketika saya yang ditantang, rekan lain bersikap yang sama.
Eh ketika adikk kelas yang ditantang, saya juga panas, anaknya hanya tertawa-tawa. Sama juga dengan kakak  kelas yang bertanya mengapa saya tertawa tidak digampar saja itu, ketika kejadian ia juga hanya geleng---geleng kepala, tidak ada yang panas. Dan yang melihat yang panas.
Banser itu selain penggendalian diri yang baik, jelas ia tidak memperhatikan apa yang ada di depannya. Ia anggap angin lalu dan tidak fokus ke sana. Dengan begitu bisa tenang, tidak emosional, dan tidak berkepanjangan.
Provokasi itu fakta, ada, dan benar demikian. Mau apapun alasannya, ada makian anjing, segala, toh tidak membuat pihak yang dijadikan sasaran tidak ngamuk balik. Keren. Dua fakta, bahwa yang dari luar belum tentu berdampak, jika tidak kita izinkan.
Berbeda dengan polisi yang ada di TKP. Si kakek jelas nggriseni, ini juga fakta, bukan wewenangnya bertanya pada "pelaku", namun sikap "membentak" dan mengatakan bukan hak untuk bertanya ini yang sangat jauh berbeda dengan anggota Banser. Padahal konon berita polisi ada dua, bisa memanggil rekannya untuk segera datang, satu mengurus si kakek dan si dugaan pelaku. Tidak ada bentakan jika bijak seperti anggota Banser.
Ingat Banser itu ormas, suka rela, bukan berbayar, dan pendidikannya bukan kekhususan untuk menghadapi hal demikian. Beda dengan  polisi yang maaf, digaji untuk mengurus keadaan demikian. pun ada pendidikan dan tentunya ada juga pembinaan terus menerus. Artinya, sebenarnya jauh lebih tenang, tidak mudah terprovokasi pada keadaan, dan bisa menyelesaikan dengan jauh lebih adil dan bijak.
Konvoi dan arogansi jalanan.
Kelihatannya aktivitas touring, baik moge ataupun motor bebek, atau apapun meniru aksi dalam film-film. Bolehlah ketika itu jalanan lengang, luar pulau lah, Jawa maksudnya, bukan Bali juga konteks di Indonesia. Plus bukan kawasan wisata. Mengapa? Jalanan kita ini relatif sempit, padat, dan bahkan macet jika akhir pekan, eh mereka ini juga melakukan aksi di saat yang sama.
Kawasan wisata pula pusat dan sasarannya. Dan mereka sering mengambil alih jalanan, dan jauh lebih miris dengan pengawalan sah, resmi, polisi, dengan sirine pula. Artinya mereka memang diberi prioritas. Miris bukan? Apalagi jika Harley ini bukan sembarangan si pemilik dan penunggangnya, pejabat, pengusaha, dan kalangan elit. Seharusnya mereka jauh lebih beradab, tertib, dan memberikan contoh. Ingat, di atas itu menjadi contoh, teladan, dan memberikan bimbingan, untuk tertib hukum, aman berkendara, dan malah bukan ajang pamer dan ugal-ugalan.
Jangan kaget ketika motor-motor, sama tahun, sama merek, atau sama wana juga berperilaku sama, arogan, ugal-ugalan, dan mau menang sendiri. Ini wajar karena ada contoh dari yang elit.
Feodalisme dan gaya penjajah yang malah buruk terus ada, kebaikan malah hilang. Belanda sebagai tertuduh penjajah paling lama, jelas memberikan dampak paling banyak. Tata ruang dan tertib penggunaan lahan malah tidak berbekas. Eh yang arogan, minderan, dan sewenang-wenang masih demikian kuat.
Tentu tidak bermaksud menghakimi si polisi takut pada pemilik HD dan kewder melihat HD, kemudian "membentak" si kakek, ini adalah soal karakter, ketakutan pada yang lebih besar, atasan, pengusaha kaya, dan berani pada yang lebih rendah, kecil, tidak berdaya. Padahal di mata hukum dan negara sama. Si kakek betapa panik sekilas saja mendengar si istri dan cucu jadi korban, jauh lebih bijak, ada menenangkan si kakek, dari pada membentak. Ingat si "pelaku" jauh lebih menguasai diri, dan memiliki segalanya.
Penegakan hukum yang masih memprihatinkan, sampai kemarin, pemberitaan konon si "pelaku" mengajak berdamai. Ini soal nyawa dan ada korban kritis, masih berbicara kekeluargaan. Coba jika dibalik dan si pelaku itu adalah korban?
Hal yang terus terulang, di mana  penyelesaian di luar hukum yang sangat tidak adil. Mengenai nyawa dan materi. Jika unsur ketidaksengajaan sangat wajarlah, lha kalau ada unsur unjuk kekuatan, sangat miris. Saatnya bebenah dan berubah. Bagaimana Pancasila dan agama digaung-gaungkan tetapi tidak berdampak. Tanggung jawab itu bukan semata uang.eLeSHa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H