Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keuntungan Penghapusan UN Lebih Banyak daripada Kerugiannya

12 Desember 2019   20:52 Diperbarui: 12 Desember 2019   20:47 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Untung Rugi Penghapusan UN

Hal yang patut disyukuri para pelaku dunia pendidikan, terutama tenaga pendidik di mana tidak menjadi mata pelajaran yang UN.  Tentu ini secara khusus, secara luas ada lagi. Mengapa demikian?

Beberapa sekolah, yayasan, memberikan kebijakan lucu, aneh, dan nyleneh, demi mengejar kelulusan UN, memberikan prioritas mata pelajar UN dengan berbagai fasilitas. Ada sekolah yang sangat ekstrem dengan memberikan full satu semester pada semester kedua tingkat akhir itu hanya  untuk matpel UN. Mata pelajaran lain silakan minggir.

Guru-guru matpel UN bisa memberikan les tambahan, dan itu resmi sekolah, sehingga bisa mendapatkan jam tambahan termasuk uang ekstra juga. Terutama untuk sekolah swasta. Kesenjangan dan kesempatan yang berbeda soal finansial bisa membuat semangat dan dunia pendidikan jadi mata duitan.

Sekolah dan peserta didik fokus pada UN bukan pendidikan secara hakiki. Cenderung hafalan dan tebak-tebakan demi mendapatkan nilai tinggi. Latihan soal berkali ulang, bukan memahami penyelesaian soal dan tahu benar-benar pelajaran. Ini sangat mungkin terjadi.  demi mengejar nilai di atas kertas bukan kemampuan.

Kecenderungan membenarkan segala cara demi nilai tinggi itu terjadi. Pengawas bisa sampai  hati mengatakan, kalau menjadi pengawas UN jangan ketat-ketat, itu anak kita sendiri. Demi nilai tinggi merendahkan anak dan diri sendiri dengan kecurangan. Miris dan itu terjadi, cek saja paling juga akan dibantah ramai-ramai.

Kesempatan adanya pendidikan nilai, karakter, sikap yang lebih luas. Pendidikan agama, olah raga, an seni yang tidak masuk UN justru yang banyak membekali anak didik dengan nilai humaniora. Sikap jujur, sportif, dan  bertanggung jawab ada dalam pendidikan-pendidikan dan mata pelajaran ini.

Peserta didik menjadi lebih bebas, merdeka, dan memiliki keleluasaan dalam mendalami ilmu pengetahuan. Mereka bisa leluasa untuk mengembangkan diri karena tidak mendapatkan target untuk lulus semata. Oreintasi pada kemampuan bukan penghafal, apalagi jika malah menjadi pribadi curang demi nilai tinggi.

Paling nyesek tentu lembaga bimbingan belajar. Ini banyak akan mati karena selama ini mereka mengembangkan metode belajar instan demi hasil, bukan pengetahuan yang dipahami. Apalagi selama ini banyak soal pilihan ganda yang penting hasil bukan cara atau proses mendapatkan hasil.

Lembaga bimbingan belajar itu banyak merugikan lembaga pendidikan resmi. Peserta didik lebih taat kepada guru les, karena bayar lebih mahal. Anak jadi ditekan orang tua lebih dengar guru les, apalagi soal jaminan nilai UN.

Mereka kadang juga menjadi agen kebocoran soal. Bukan rahasia lagi, jika di beberapa tempat, bimbel itu menyediakan kunci jawaban. Dan mereka yang demikian bisa menjadi besar. Tentu bukan menuding semua lembaga bimbingan belajar demikian, ada yang demikian.

Mengubah paradigma terutama orang tua di mana memandang UN segalanya, dan memberikan les ini dan itu. Padahal anak perlu  juga waktu bermain dan berinteraksi, dan alasan bayar mahal, anak lebih banyak main dan bercanda malah di sekolah, ini kan kebalik-balik, yang formal jadi mainan dan nonformal jadi utama.

Kedisplinan di lembaga bimbingan belajar cenderung pokok membayar dan selesai. Dan kedisplinan, sikap tanggung jawab sangat lepas. Karena memang bukan prioritas mereka. Dan di sekolah bisa menjadi bumerang karena anak sudah enggan tertib, di bimbel   yang lebih mahal saja santai.

Mengerikan bagi guru-guru muda, terutama yang banyak di les-lesan seperti matematika, fisika, kimia, ketika di lembaga bimbingan mentor lebih mumpuni, di sekolah mendapatkan guru muda belum berpengalaman bisa mati kutu. Karena murid sudah belajar lebih dulu dari mentor berpengalaman. Ini pernah saya tahu sendiri, di mana rekan guru kelabakan, di mana ia masih perlu banyak belajar.

Menutup juga peluang bisnis buku dan LKS, dan di sanalah biasanya paham Antipancasila, intoleran, dan fundamentalisme sangat mungkin masuk. Apalagi seleksi buku sangat lemah. tawaran menggiurkan fee dari penerbit bisa sangat menggoda.

Kesempatan eksplorasi peserta didik dan juga guru akan makin besar. Bagaimana guru selama ini habis dengan administrasi ini dan itu, pengembangan sudah sangat susah. Kehabisan energi dan waktu. Mereka membagikan ilmu tanpa pernah mendapatkan jamu baru untuk pengembangan. Jarang guru memiliki  kesempatan untuk membaca dan juga menulis. Ada sih ada, namun sangat minim.

Bagaimana murid bisa suka membaca kalau gurunya saja pening melihat buku. Ini nyata, faktual, dan cek saja kalau tidak percaya. Berapa banyak buku yang dimiliki, apalagi dibeli guru, selain pemberian sales buku.  

Potensi sekolah favorit dan pinggiran juga bisa terreduksi, ini banyak dampak yang mengikuti. Jangan kira sekolah negeri gratis itu di lapangan juga berlaku. Dengan tiadanya UN, sekolah favorit dan biasa jadi cair dan semua sekolah menjadi sama. Kesempatan bagi semua anak bangsa mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Patut dicoba dan dievaluasi. Selama ini tidak pernah ada evaluasi kebijakan pendidikan, pokok ganti saja. Harapan baik mulai terlihat. eLeSHa.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun