Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kebahagiaan Itu Bukan karena Apa atau Siapa

9 Desember 2019   20:56 Diperbarui: 9 Desember 2019   21:02 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa  waktu yang lalu, dalam sebuah candaan Kompasianer Hadi Santoso  mengatakan saya sebagai panutan. Ini berlebihan bagi saya, eh Kompasianer Leya Cattlela ikut kalau saya adalah panutan. Saya menolak sematan yang terlalu tinggi itu. Eh, malah Mbak Leya mengatakan maunya seperti Denny Siregaar begitu?

Ah ini sih sudah beda planet, saya sih bukan apa-apa. sambil mau menuangkan tulisan dari guyonan ini, saya membaca buku Awareness, hadiah Kompasiane Teha Sugiyo, untuk ketiga kalinya. Entah mengapa selang setahun kog pengin baca lagi, dan ternyata pas dengan tema candaan tersebut.

Kebahagiaan itu lepas karena apa, jadi bukan karena apanya yang membuat bahagia. Berkaitan dengan sematan saya panutan itu, ketika itu membuat saya bahagia, lha kalau sudah sirna, usai, dan selesai, jadi menderita, sedih, dan merana.  Karena kebahagiaan memiliki peran, panutan menjadikan bahagia.

Ini benar terjadi, dalam dunia yang digeluti bersama, dalam konteks ini K, sering orang bahagia ketika menjadi HL-AU. Benar, dulu, ketika melihat Kompasianer lain HL itu pengin banget, kapan ya bisa seperti itu, apalagi ada yang artikelnya hampir selalu HL. Lha kalau levelnya pilihan saja kadang-kadang kog ngarep HL setiap waktu yang menderita, dan benar demikian.

Atau melihat rekan lain setiap artikelnya selalu saja TA, dulu trending article, bukan NT, dan ketika ada perubahan NT dengan vote bisa puluhan, dan menendang artikel kita. Bisa merana melihat keriuahan canda dan kadang juga makian di lapak komentar. Seru dan panas kadang. Nah kalau memang tidak bisa menjanjikan dan menggoda dapat vote puluhan, ya syukuri saja jika hitungan jari.

Tolok ukur adalah apa, atau capaian pihak lain, ya menderita dan merana. Dalam konteks yang lebih luas, dalam hidup, hal ini juga sama saja. Bahagia jika memiliki ini dan itu, lah kalau ini dan ituya habis, hilang, atau sudah ketinggalan zaman? Merana bukan?

Pun demikian, ketika gaji, jabatan, kekayaan, prestasi sebagai sumber kebahagiaan, dan tiba-tiba ada kecelakaan dan semua itu sirna, apakah kebahagiaan itu juga ikut berakhir? Kan seharusnya tidak demikian. Itu karena sumber kebahagiaan adalah apa.

Orang bisa juga merana karena fokusnya pada yang bukan miliknya, namun apa yang diinginkan. Di atas itu gambaran apa yang ingin, apa yang pengin diperoleh mungkin bisa, mungkin tidak. Dan itu bisa  menjadi penyebab jauhnya kebahagiaan.

Menulis tidak lagi bebas, karena fokusnya pada keinginan untuk ini dan itu. Nah karena  ketidakbebasan membuat tulisan malah kaku, tidak mengalir, dan susah dipahami pembaca.

Kebahagiaan tergantung siapa

Kadang orang menggantungkan kebahagiaan karena dengan atau kepada siapa. Contoh paling mudah dan sering ya pasangan. Lha kalau pasangan meninggal kemudian merana. Muda-mudi mengatakan kebagiaannya adalah pasangannya, atau pacarnyalah. Lha memang dunia selebar daun sengon apa? Tidak harus demikian.

Tuh lihat, yang pasangannya meninggal atau putus, bisa dengan segera berganti kebahagiaan, apa yang kemarin bukan kebahagiaan? Memahami sumber kebahagiaan dengan kacama ta sempit dan egois. Sangat mungkin adalah aku bahagia denganmu, dengannya, dna dengan yang lainnya. tentu ini lepas dengan pembicaraan nikah yang eksklusif. Sejatinya masih sangat bisa.

Siapa itu tidak ideal jika menjadi sumber kebahagiaan. Ada orang tua yang menjadikan sumber kebahagiaan dan semangatnya adalah anaknya. Lha kalau anaknya nakal, rusak, bejat, malah menjadi bencana. Benar bahwa anak adalah buah cintanya, namun apakah harus mengorbankan dirinya demi si anak? Yang belum tentu juga membahagiakan.

Kebahagiaan itu bukan karena siapa atau apa, kebahagiaan itu yang diri sendiri yang memilih bahagia. Meskipun dengan itu bisa sangat menyakitkan. Perasaan orang yang tertolak karena merasa tidak istimewa, dan itu juga hak orang yang ingin diistimewakan. Padahal diri kita adalah istimewa, tiada duanya kog. Mengapa harus mencari pengakuan dan keintimewaan dari pihak lain.

Kebahagiaan itu bukan karena apa, jika  karena apanya kita bahagia, berarti kita masih bersyarat dan itu akan sangat mengerikan dampaknya, jika prasyaratnya tidak tercapai. Benar bahwa itu menjadi sebentuk motivasi, penyemangat, dan pendorong, namun bukan kemudian menjadi  tujuan.

Jika menjadi tujuan, saat tidak tercapai akan merana. Merasa kehilangan berlarut-larut, dan itu jelas bukan kebahagiaan bukan? Bahagia itu lepas bebas, tidak lagi terikat banyak keinginan yang malah membelenggu.

Pembiaran bahwa ada yang mengatur dan itu di luar kendali kita. Namun ingat bukan berarti bahwa kita tidak berbuat apa-apa dengan itu. Usaha, upaya, dan membuka diri jelas sebagai kewajiban yang tidak boleh dilupakan dan menjadikan alasan bahwa itu sumber ketidakbahagiaan, tidak demikian.

Mau bahagia atau tidak itu bebas, pilihan ada di tangan Anda, dan itu bebas untuk bahagia atau menderita. Pihak luar tidak banyak berperan.eLeSHa.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun