Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reunian 212 dan Sikap Kanak-kanaknya Kedua Kubu

3 Desember 2019   09:53 Diperbarui: 3 Desember 2019   10:02 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, 212 yang begitu "melegenda" mengadakan sebentuk kegiatan yang yah begitu-begitu saja. Satu pihak mengatakan baik, besar, benar, dan sis lain sebaliknya. Pesimis pasti kecil, sudah menyusut, tidak ada faedah, dan tudingan senada lainnya. Yah wajar dan semua pada sisi yang berlawanan memang.

Sampai hari ini pun masih senada. Satu pihak mengatakan ratusan ribu hingga jutaan, didukung 202 negara bla...bla... Pada bagian sebaliknya mengatakan, negara di dunia hanya 196. Masing-masing dengan argumen kekanak-kanakan yang sama juga dengan bapakku pilot dan bapakku astronot ala anaak SD.

Mengapa menjadi riuh rendah? Tidak hanya kemarin, bahkan  hari ini masih berseliweran meme, ataupun berita, dan kadang ajakan atau malah hasutan, salah satunya soal Anies yang harus dipecat. Coba apa bedanya dengan para pelaku reuni dengan yang menolak jika hanya demikian terus yang dilakukan. Satu memuja satu menista dan sebaliknya.

Jadi ingat dalam sebuah bukunya Antoni de Mello berkisah mengenai pengemis miskin yang hendak tidur di samping sungai. Ia mengambil latar belakang barat. Musim dingin sedang berlangsung, si pengemis merapatkan mantel hangatnya yang kumal dan sudah banyak bolong. Sesaat sebelum tidur ia dihampiri seorang gadis bermobil mewah. Si gadis mengajaknya tidur di rumahnya. Sampai rumah yang sangat mewah itu, ia tidur di kamar pelayan dan makan makanan yang belum pernah ia makan.

Sesaat sebelum tidur, usai berganti dengan gaun tidur si gadis ingat teman barunya. Ia datangi kamar si kawan dan bertanya apa makanannya enak, apa kamarnya cukup hangat. Ia jawab seumur hidup belum pernah makan makanan seenak itu dan kamar sehangat dan semewah itu. mengapa belum bisa tidur apakah karena perlu teman, jika iya, bergeserlah sedikit, sambil si gadis berbaring, dan si pengemis jatuh ke dalam sungai yang sangat dingin.

Pagi ini membaca seorang rekan media sosial membagikan  artis medsos yang menyoroti Anies dan aksi reunian sebagai tindak mencari kekuatan dan sebentuk afirmasi bahwa ia telah menang dan perlu kekuatan untuk mendapat legitimasi atas jabatan gubernurnya. Apa bedanya dengan yang kemarin berseru gubernur Indonesia coba?

Kedua kubu sama-sama kanak-kanak yang melihat semua secara ekstrem dan sama-sama tidak semudah membalikan telapak tangan, dan kadnag juga tidak berguna kog. Apa sih gunanya memperolok yang mengatakan 5000 bus, kapal pesiar, pesawat dicarter untuk menghantar umat ke Monas. Mereka juga paham, itu hanya bualan, dan sebagian lagi memang tidak paham. Memangnya dengan menjelaskan ketidakmungkinan keadaan menjadi baik, tidak demikian. Mereka bahkan bisa menjadi lebih ngotot.

Soal jumlah juga terus saja diulang-ulang, bahkan yang pada saat itu sampai menghitung luasan kawasan dengan segala tetek bengeknya. Memangnya ngaruh dan kemudian berubah? Tidak. Mereka tidak akan mau berubah. Mereka tidur dengan fakta, sama dengan tidurnya yang memaksakan mereka untuk mengerti fakta. Tidak ada yang mau memberikan kesempatan untuk membiarkan.

Fakta tidak menjadi penting bagi orang yang berperilaku demikian. Ini soal psikologi massa yang memang sudah diciptakan secara sengaja. Mereka paham betul siapa yang akan menjadi pengikut mereka. Menjadi penting adalah jangan berbicara fakta, namun lokalisir para simpatisan untuk tidak ikut arus yang akan membawa mereka pada kondisi fanatis yang bak babi buta.

Caranya bukan menjejali dengan fakta yang penuh kesinisan namun diajak berpikir kritis dan cerdas melihat dinamika yang ada. Jelas yang datang jauh lebih sedikit berarti sudah mulai rasional. Panitia dan Anies bicara jutaan, toh pedagang di sana bicara tidak banyak pembeli. Posisi simpatisan bisa terhenti tidak lagi ikut.

Dalam sebuah komentar ada yang maish ngotot itu adalah kegiatan agama. Ya biar saja dengan pemahamannya tidak perlu dibantah, apalagi sampai dimaki, karena dengan demikian malah menjadi kebencian baru bukan solusi untuk membuat mereka sadar.

Memberikan ruang pada mereka dengan olok-olokan menambah sikap kebencian dan merasa diperlakukan dengan tidak adil menjadi semakin kuat. Dan itu kontraproduksi. Sikap mempertahankan diri atas egonya yang tersinggung makin besar. Menarik diri semakin dalam dan itu yang disukai para pemimpinnya yang memang memanas-manasi pada ranah ini.

Ketegasan hukum dengan penolakan izin atau pelarangan juga semakin membuat mereka merasa diri benar, dan menarasikan korban ketidakadilan. Nah ini juga menjadi narasi sebaliknya bagi yang merasa tidak berguna. Kegiatan sia-sia buat apa, tidak usah diberi izin, pemerintah lemah kalau mengizinkan.

Pemerintah itu di atas semua golongan,  mau pro atau kontra harus difasilitasi semua. Dan jangan sampai malah si anak-anak itu tantrum, dan merusak perabotan dengan tidak terkendali.

Keberadaan pemerintah sudah tepat. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan dengan baik, dan toh tantrum semua pihak itu juga akan reda dengan sendirinya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun