Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gibran Ternyata Bukan Darah Daging Politik Jokowi

27 November 2019   11:34 Diperbarui: 27 November 2019   12:12 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gibran Ternyata Bukan Anak Politik Jokowi

Eits jangan senisi dan baca bener ya, maunya judulnya bukan anak kandung Jokowi, nanti diedit bisa celaka. Mengapa bukan anak politik Jokowi? Akhir-akhir ini hampir semua parpol sedang menggoreng nama Gibran untuk masuk pada bursa bacawali  kota Solo. PDI-P Kota Solo saja yang tidak mendukung karena terlambat.

Sangat menarik adalah oposan utama Jokowi berkali-kali, seperti Gerindra, dan malah kini PKS pun ikut menyokong Gibran. Kemarin, masih cukup mempertanyakan, aih mengapa juga Gibran seperti anak petinggi lain. Kini sangat setuju Gibran masuk gelanggang. Pun soal DPC PDI-P Solo bisa diatasi dengan sangat sederhana kog.

PKS baru kemarin, Sohibul Iman ikut  mendukung jika pengurus Kota Solo menghendaki Gibran menjadi salah satu bakal calon wali kota. Mengapa menjadi menarik?

Pertama, Gibran itu anak Jokowi, anak kandung, anak mbarep, yang sangat biasa menjadi "putera mahkota" dalam konteks kerajaan-kerajaan Jawa dan timur umumnya. Nah jelas Gibran adalah Jokowi banget. Bolehlah ketika Golkar atau PDI-P mendukung Gibran, lha ini adalah oposan "abadi" Jokowi. Paling aneh dan lucu adalah isu PKI, Jokowi kader PKI, yang dijawab Jokowi mana ada kader PKI anak-anak.

Jika Jokowi PKI atau anak PKI, Gibran tiba-tiba bersih lingkungan, tidak ada isu Gibran anak atau cucu PKI. Ke mana suara-suara yang dulu teriak Jokowi PKI dan perlu test DNA segala. Lak koplak mana ada ideologi bisa dites DNA?

Kedua, masih cukup hangat, ketika Jokowi dipersepsika sebagai Pinokio, artinya pembohong dengan hidungnya yang memanjang, setiap kali berbohong.  Kan menarik nih anak pembohong menjadi kandidat walikota dengan nama sangat bersih dan tanpa ada respon menolak, selain DPC PDI-P, padahal partai ini adalah partai utama Jokowi.

Ketiga, akan bisa lebih mudah diterima nalar, jika itu Kaesang. Dalam adat Jawa anak ragil kurang mendapatkan sebuah garis utama dari si bapak. Keberadaannya bukan mewakili bapak banget. Keturuna n tambahan semata. Jadi sangat mungkin jika Kaesang tidak akan menyangkut banyak pada Jokowi. Lha ini Gibran.

Keempat, jauh lebih mempertontonkan kualitas parpol, bagaimana perilaku munafik itu jauh lebih menjadi ideologis dari pada ideologi yang mereka gaung-gaungkan selama ini. Miris sebenarnya.

Apa dampak politik jika Gibran bisa menjadi walikota?

Menggelikan sebenarnya, apalagi jika isu-isu antekasing, antekaseng, penjual negara, boneka, dan seterusnya seterusnya masih ada, dan kemudian anaknya bebas melenggang dalam kapasitasnya sebagai walikota sekaligus anak presiden. Benar bahwa pusat dan daerah berbeda, namun ketika banyak hal pribadi dikaitkan dengan politik, menjadi aneh dan naif kinerja parpol ini.

Dari sana nampak bahwa;

Parpol malas dan hanya mengandalkan figur populer meskipun tidak memberikan jaminan mutu dalam kepemipinan dan visi dan misi di dalam pemerintahan, ambil dulu. Urusan belakangan. Apa coba rekam jejak Gibran, sehingga semua partai politik begitu ngebet? Sama sekali tidak ada. Memang sebagai pengusaha ia sukses, terobosan baik, dan lepas dari peran bapaknya.

Apakah itu cukup ketika ini berbicara sebagai sebuah kepemimpinan kota, yang sudah pernah dirintis dengan baik dan memberikan hasil yang nyata. Apalagi usia Gibran masih termasuk muda, masih banyak waktu baginya. Pun banyak tokoh lain yang tidak kalah kualifikasinya.

Pembuktikan Gibran masih belum cukup, apalagi di bawah bayang-bayang Jokowi, pemimpin gaya baru, visioner, dan masih dalam teropong yang sangat berbeda dengan pemimpin lain. Ini jelas sebuah cermin yang sangat besar dan bisa menjadi beban bagi Gibran.

Oposan utama dan paling keras pun kepincut. Nah menjadi bukti paling sahih, politiknya bukan soal politik itu cair, malah politik asal-asalan. Bapaknya ditolak seperti terkena kusta, eh anaknya dipuja bak malaikat. Ini serius, bukan sederhana sebagai perilaku berpolitik.

Benar bahwa politik itu cair, tidak ada yang abadi dalam berpolitik, namun ya tidak juga sekasr itu pula. Boleh berbeda dalam memilih dan juga ideologi, namun ketika bapak dan anak kog sudah jauh bahkan berolak belakang, kan jelas ada yang tidak pas di sana.

Jika menilai Jokowi tidak becus saja, dan kemampuan, masih sangat mungkin anaknya bisa dan mampu. Lah kalau pembohong, PKI, dan sejenisnya kan menjadi lucu, bapaknya PKI anaknya bukan. Bapaknya pembohong anaknya dipercaya. Kan ada yang aneh.

Keanehan partai politik inilah penyakit bangsa ini. Mengapa? Karena mereka yang memegang kendali atas bangsa. Bagaimana tidak ketika partai politik sakit, menghasilkan produk aturan perundangan, mengatur bagaimana kepemimpinan bisa terbentuk, kriteria seperti apa menjadi buah pikir mereka.

Mirisnya mereka merasa baik-baik saja. Dan menghasilkan produk hukum amburadul pun tidak malu. Ya pantes jika bangsa ini masih banyak ketinggalan dari yang semestinya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun