Sumpah Pemuda dan Izin Pendirian Rumah Ibadah, Refleksi Kebhinekaan Hari ini
Seminggu lalu ada sosialisasi dan deklarasi antiraikalisme di kecamatan. Salah satu kades muda, mengatakan, bagaimana yang mayoritas itu bisa dengan mudahnya mendirikan rumah ibadah, kadang gak dipakai juga, sedang yang minoritas mau memindahkan karena terkena proyek toll saja susahnya minta ampun.
Saya Muslim dan saya mengatakan dengan mohon maaf pada kyai dan semua yang hadir, mengapa harus takut dengan gedung, sedangkan mereka saja yang kesulitan tidak pernah takut. Mana pengajaran dan pemahaman dari para guru ngaji dan kyai membentuk iman anak-anak. Kalau mungkin SKB itu dicabut saja, katakan pada pejabat di atas sana itu. Di daerah tidak perlu.
Seorang kyai usai bawah saya, teman waktu kecil, pemilik pesantren cukup besar, juga menegaskan, relasi kami, saya dan kyai tersebut baik-baik saja hingga kini, agama juga tetap. Ia juga mengatakan jika baru berkelilih beberapa tempat, di mana ia tahu bahwa ketika Muslim sedikit toh ada musholla dan itu yang membangun rekan-rekan Nonmuslim terlibat. Ia mengatakan ini soal sikap mental dalam beriman.
Eh kemarin ada pembicaraan dan pemberitaan jika ada penolakan pendirian rumah ibadah di suatu daerah. Tidak usah diperpanjang dan dibahas di mananya, pun banyak terjadi dan ini hanya ilustrasi, apalagi berkaitan dengan Sumpah Pemuda. Hal yang selalu terulang.
Beberapa saat lampau, ponakan "bertikai", berdiskusi dengan cukup sengit via media sosial dengan kelompok Katolik yang akan menjadi Katolik fundamentalis jika tidak ada penanganan lebih lanjut. Aneh dan lucu karena ia memiliki pemahaman sendiri, lepas dari ajaran Gereja. Apalagi sudah ditanggapi oleh pihak yang berkompeten pun tidak mau mendengar malah menyalahkan dan ngotot dia benar.
Fundamentalis dan fanatisme ada dalam semua agama dan kelompok. Jadi jika orang hanya menuding  pihak lain sebagai fundamentalis jelas berbahaya, pun jika mengaku kelompoknya pasti baik dan benar sama juga riskannya.
Kesadaran. Menjadi penting, menyadari kodrat keberagaman bangsa ini sebagaimana Pemuda era 28. Hal yang seolah sekian lama, sekian dasawarsa terakhir meluruh dan berganti dengan pengotak-otakan oleh sekelompok orang demi kepentingan mereka.
Untung bahwa pelaksanaan peringatan Hari Sumpah Pemuda bukan beberapa bulan lalu, ketika menggunakan latar Gereja Katedral Jakarta menjadi salah satu bagian penting. Ini soal sejarah bukan soal agama. Bangunan yang cukup representatif kala itu, jelas saja gedung milik misi, dan kebetulan Katedral Jakarta.
Bayangkan saja jika masih posisi politis seperti beberapa bulan lalu, melihat salib saja katanya jin, apalagi ini pelataran. Ingat pelataran bukan dalam gedung katedral. Jadi patut bersyukur kondisi untuk memanggungkan perbedaan makin besar sudah mulai surut. Keberagaman itu kenyataan, kebhinekaan itu kodrat kog. Dalam keluarga saja sudah ada bapak dan ibu, jenis kelamin berbeda, itu jelas beragam, wong nyatanya menikah sesama jenis dilarang.
Sumpah Pemuda dan Kekinian
Sangat mungkin bahwa kesukuan tidak demikian menjadi masalah berlebihan hari-hari ini, namun toh bahwa itu ada potensi yang sangat mudah disulut demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Memang pembangunan mulai merasa dan dirasakan banyak pihak, bahkan hampir semua pihak merasakan dampaknya.
Perbedaan kesukuan yang seolah sudah menipis itu pun masih mudah bergolak karena fanatisme berlebihan yang memang ada yang sengaja menggosok dan menggesek. Lihat saja berapa waktu lalu hampir saja kembali ada kerusuhan antaretnis, benarkah karena etnis? Bukan, kepentingan politis yang ada. Dan memang demikian adanya.
Memperkuat jati diri Keindonesiaan, Â bukan kesukuan atau agama semata. Jika demikian yang hadir, disadari, dan menjadi gaya hidup, yakin saja Indonesia maju akan menjadi kenyataan dan lebih cepat. Energi bangsa ini habis dan terserap hanya urusan yang remeh temeh, soal "pakaian", label, dan perhiasan yang seharusnya menjadi sarana namun sering menjadi tujuan.
Jika pemuda '28, di tengah keterbatasan, di antara seuruh tekanan saja mampu melahirkan Sumpah Pemuda yang demikian visioner, mosok anak milenial malah mundur dan memecah belah hanya demi kepentingan pihak lain. Ingat Indonesia, bukan hanya Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau Papua saja, namun seluruh dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia juga bukan hanya Islam saja, atau Katolik saja, namun semua agama yang diakui harus mendapatkan kedudukan yang sama. Jangan sampai mengandalkan banyak atau mayoritas. Istilah ala penjajah yang sering dipakai dengan gagah dan bangga.
Saatnya kembali melihat perjuangan dan perjumpaan 1928 yang demikian melegenda, dan di sanalah jati diri Indonesia. Memang laku itu harus dijalani dan sedang berproses menuju ke sana. Tidak akan bisa dipaksakan, harus penuh kesetiaan menjalani dan kemudian lahirlah kesadaran. Dan kesadaran baru itu mulai merebak, banyak kebersamaan yang dibuka karena kesamaan jati diri bukan membesarkan perbedaan.
Selamat Hari Sumpah Pemuda
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H