Lihat saja dalam berinteraksi dalam media sosial, cacian, sanggahan asal ucap, kadang juga masih makian dengan unsur fitnah, separo data, pengubahan persepsi masih demikian masif. Didikan manusia guanya Plato masih lekat, mereka masih kacau dengan narasi ugal-ugalan yang tercipta.
Sportif, jiwa siap menang dan siap kalah. Jangan berpikir politik adalah segalanya. Masih ada kemanusiaan, persaudaraan, relasional sosial yang tidak laiknya dirusak hanya berbeda pilihan. Pilihan ya hanya sampai bilik suara, jangan malah sampai berbulan-bulan lamanya.
Harapan baik ketika elit bisa demikian, lambat laun akan demikian pula masyarakat. Jangan sampai negara sebesar ini harus diceraiberaikan apalagi sampai merana dalam perpecahan hanya karena egoisme elitnya.
Komunikasi, termasuk lobi, pendekatan personal, tidak harus selalu formal. Kadang tabiat bangsa ini aneh, ada yang informal malah dibakukan, ada yang harusnya baku malah main belakang. Kekacauan ini banyak terjadi. Jadi perlu jernih dan jeli membedakan.
Musuh kita ini bukan lawan politik, namun musuhnya adalah gerakan fundamentalis, di mana mereka bak babi buta, meradang karena upaya mereka terganjal keberanian pemerintah untuk membatasi gerak mereka. Pancasila sudah dipilih dan selesai, tidak ada alternatif lain. Ini jauh lebih mendesak, urgen, dan penting.
Korupsi, parpol sebagai bagian penting di dalam pemberantasan korupsi ternyata malah ikut terlibat. Kan koplak, dan jauh lebih penting membahas meminimalisir korupsi dari pada ribet dan ribut kursi bukan? Kata rakyat yang gak dapat jatah sih.
Dan banyak lagi pekerjaan negara yang harus diselesaikan, bukan hanya berkutat pada kursi, kekuasaan, dan rebutan ini dan itu.  Tugas itu  bukan hanya  miliki pemerintah apalagi presiden saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H