Faksi dan koalisi dalam politik itu sangat cair. Miris adalah ketika akar rumput, kadang kelas menengah pun menilai berbeda. Seolah perseteruan politik itu sama juga perselisihan pribadi. Kadang Mega memang demikian, seperti terhadap SBY dan terbaru dengan SP. Unik dan seharusnya ya seperti dengan Prabowo ini.
Bamsoet dari mimbar MPR, dalam pidato perdananya berterima kasih pada Mega-Prabowo. Ucapan khusus dan teristimewa, baru kemudian ketua parpol lain. Mengapa?
Sebagaimana pernyataan ketua Fraksi Gerindra, mereka meminta waktu untuk konsultasi dan ternyata mereka konsultasi ke Prabowo dan Prabowo bertemu Mega terleih dahulu. Posisi sudah delapan fraksi plus DPD, melawan satu, hanya Gerindra yang belum sepakat untuk mendukung mantan ketua dewan ini.
Demi kepentingan bangsa yang lebih besar kami mundur dan menyatakan dukungan untuk Bamsoet. Lepaskan soal lambe politikus, ikut saja narasi normatif ini. Bagaimana  musyawarah mufakat itu sejatinya bisa.
Titik simpulnya adalah komunikasi. Sikap menang-menang, bukan menang-kalah, apalagi menang-menangan. Â Sering orang menilai Mega sebagai politikus kaku, keras, susah untuk berubah dan kerja sama. Lihat-lihat konteks dan pribadinya ternyata.
Persoalan bertele-tele di DPR tidak seperti lima tahun lalu, di mana hingga tiga bulan saling sandera dan kekang karena barisan kalah ngotot. Syukur kali ini hal itu tidak terjadi. Sehari saja kelar. Hanya MPR yang agak alot.
Lobi-lobi itu sah dalam berpolitik, kepentingan yang memang menjadi seolah prioritas. Sepanjang tidak merugikan bangsa dan negara, tidak ada salahnya sejatinya. Bagaimana Mega-Prabowo pasang surut dalam kerja sama. Pernah barengan dalam pilpres dan kalah, kemudian pilkada DKI dengan Jokowi-Ahok, merenggang lagi ketika PDI-P memilih Jokowi dan Prabowo menjadi penantang.
Hingga terulang di 2019. Diplomasi nasi goreng menjadi pelajaran berharga tidak ada yang namanya persoalan pribadi dalam politik. Kudune. Prabowo bisa nyelah karakter Mega, padahal tahu kalau Prabowo juga orang yang keras, kaku, dan mau mau nylondhoh, toh bisa. Lupa tadi membaca di mana, hal yang sama dilakukan JK, datang, silaturahmi, bukan seperti SBY.
Kembali pada kisah Bamsoet. Konon keinginan untuk mengakomodasi keberadaan GBHN lagi bagi jalannya pemerintahan. Hal yang relatif baik dan juga penting. Sehingga tidak akan ada pemerintah sesuai dengan kepentingan diri di dalam mengatur negara. Atau ada ganti presiden ganti kebijakan, atau malah merusak tatanan yang sudah dibuat demi kepuasaan ego sendiri. Contoh pembangunan Jakarta.
Pentingnya GBHN, menjadi sebuah gambaran mau dibawa ke mana bangsa ini, bukan hanya pemerintah, namun bersama dengan tim dan itu menjadi juga tolok ukur kepuasan atas kinerja pemerintah. Tidak akan ada lagi, idealnya, kelompok penantang asal menjelekan pemerintah, dan pemerintah juga tidak asal klaim prestasi, ini bisa menjembatani lahirnya jenis kamret dan cebong baru.
Kini ketika elit sudah rtelatif tertata, damai, ayem, ingat lupakan kisah SP dan AHY dulu, fokus pada MPR, kini pembelajaran politik. Para manusia gua Plato masih saja ribet dan ribut soal Jokowi begini lah begitulah gak seperti Prabowo, yang belum pernah melakukan padahal. Mereka patut bertanggung jawab memberikan pembelajaran, pengajaran, dan meyakinkan pendukungnya politik ya politik, selesai. Emang belum selesai?
Lihat saja dalam berinteraksi dalam media sosial, cacian, sanggahan asal ucap, kadang juga masih makian dengan unsur fitnah, separo data, pengubahan persepsi masih demikian masif. Didikan manusia guanya Plato masih lekat, mereka masih kacau dengan narasi ugal-ugalan yang tercipta.
Sportif, jiwa siap menang dan siap kalah. Jangan berpikir politik adalah segalanya. Masih ada kemanusiaan, persaudaraan, relasional sosial yang tidak laiknya dirusak hanya berbeda pilihan. Pilihan ya hanya sampai bilik suara, jangan malah sampai berbulan-bulan lamanya.
Harapan baik ketika elit bisa demikian, lambat laun akan demikian pula masyarakat. Jangan sampai negara sebesar ini harus diceraiberaikan apalagi sampai merana dalam perpecahan hanya karena egoisme elitnya.
Komunikasi, termasuk lobi, pendekatan personal, tidak harus selalu formal. Kadang tabiat bangsa ini aneh, ada yang informal malah dibakukan, ada yang harusnya baku malah main belakang. Kekacauan ini banyak terjadi. Jadi perlu jernih dan jeli membedakan.
Musuh kita ini bukan lawan politik, namun musuhnya adalah gerakan fundamentalis, di mana mereka bak babi buta, meradang karena upaya mereka terganjal keberanian pemerintah untuk membatasi gerak mereka. Pancasila sudah dipilih dan selesai, tidak ada alternatif lain. Ini jauh lebih mendesak, urgen, dan penting.
Korupsi, parpol sebagai bagian penting di dalam pemberantasan korupsi ternyata malah ikut terlibat. Kan koplak, dan jauh lebih penting membahas meminimalisir korupsi dari pada ribet dan ribut kursi bukan? Kata rakyat yang gak dapat jatah sih.
Dan banyak lagi pekerjaan negara yang harus diselesaikan, bukan hanya berkutat pada kursi, kekuasaan, dan rebutan ini dan itu.  Tugas itu  bukan hanya  miliki pemerintah apalagi presiden saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H