Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Kegagalan Eksponen 19 dan Potensial Pandangan Sejarah Generasi Gagal

2 Oktober 2019   12:26 Diperbarui: 2 Oktober 2019   12:40 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik apa yang tersaji dalam aneka demo yang tiba-tiba saja ada gerakan mahasiswa yang demikian masif itu. Sayang bahwa harus berakhir rusuh dan kerusakan di berbagai tempat. Mengapa memakai kata tiba-tiba? Karena cukup berbeda dengan kala 98, di mana aksi-aksi di dalam kampus-kampus kemudian melebar ke luar dan kota, di mana pusat pemerintahan menjadi sasaran.

Kini, kampus itu biasa, kegiatan belajar mengajar berjalan normal, memang ini karena pengaruh media sosial dan media informasi yang demikian terjangkau. Ada beberapa hal cukup menarik bisa dicermati;

Koordinasi memang lebih mudah, cepat, dan serempak dengan adanya media komunikasi modern. Begitu ada isu dan fenomena yang menggerakan sikap kritis, langsung saja dibagikan dan seketika bisa ada aksi yang relatif besar.

Namun di balik kemudahan itu, jelas ini adalah konsekuensi logis, di mana apa yang mereka telah sepakati itu belum ada hal mendasar yang mereka pahami dengan baik. Ketika melakukan kritik ataupun makian dengan mudah terpatahkan. Mengapa? Ya karena mereka belum membicarakan dengan masak, matang, dan mendalam.

Info sepenggal saja dengan sangat mudah menjadi demikian viral dan menjadi perbincangan panas. Padahal asal-usulnya bisa saja sebatas info katanya. Pembeda yang cukup signifikan, mengapa demikian mudah dibantah.

Keberadaan aksi 98 jelas dengan alasan mendasar, sasaran juga sangat nyata, karena krisis moneter demikian dalam dengan alasan yang sangat masuk akal, KKN yang demikian kuat dan lama. Pemerintahan selama lebih dari tiga dasawarsa, otoriter, meskipun mulai banyak narasi dari kelompok ini, era itu tidak ada kerusuhan atas nama etnis, demo besar-besaran. Lha memang demo dilarang. Kan koplak generasi muda yang percaya narasi ini.

Sasaran jelas Soeharto baik sebagai pribadi ataupun presiden yang mau diganti. Pokoknya ganti. Nah 2109 ini berbeda. Ada yang karena UU dan RUU, ada yang mengekor soal Jokowi, lah Jokowi diminta turun saja hanya oleh sebagian kecil pihak. Ini yang merontokkan gegap gempita aksi mahasiswa 2019.

Kurang mendalamnya penguasaan materi dan apa yang mau dituntut memudahkan pihak yang terlibat untuk mematahkan mereka. Mereka yang tergesa-gesa akan abai untuk mempersiapkan rencana-rencana alternatif. Nah ketika mandeg dengan aksi utama, mereka frustasi. Yang ada, kekerasan dan perusakan fasilitas umum. Jelas ini bukan aksi mahasiswa.

Gagapnya mereka menguasai keadaan dan isu-isu faktual karena budaya baru media sosial membuat mereka tumpul dalam banyak narasi obyektif. Nah dengan mudah dipatahkan oleh kelompok lain yang ternyata benar-benar paham dengan esensi. Apakah ini salah atau keliru? Ini konsekuensi atas perkembangan zaman. Dan menjadi pembelajaran yang baik bagi mereka untuk selalu mengunyah kembali, sistem kebut semalam perlu perubahan.

Politik praktis lebih mengemuka. Hal yang baik dan wajar, namun mereka ternyata hanya menjadi alat dan tidak tahu dengan baik apa yang terjadi. Berbeda jika mereka memang berpolitik praktis dan tahu dengan baik, tentu akan bisa mempertanggungjawabkan apa yang mereka yakini kebenarannya. Beberapa pimpinan mahasiswa ini dimentahkan oleh mahasiswa lain, yang cenderung nonpartisan. Memang bukan sebuah riset, hanya melihat fenomena bahwa kelompok yang cenderung "pokoke" ternyata berbau sebuah parpol dengan pengaderan mereka, dan yang mementahkan mahasiswa murni nonpartisan.

Apakah ada keterlibatan aparat intelijen? Jelas sangat mungkin. "Kekacauan" di dalam tubuh organisasi mahasiswa sendiri sangat mungkin peran mereka. Sasaran dan alasan yang berbeda-beda membuat kekuatan mereka sangat lemah. Ini jelas terbaca dengan gamblang.

Sangat pantas jika media sosial tetap dibiarkan berjalan apa adanya. Bandingkan "rusuh" Mei, di mana media sosial sempat "ngadat" mengapa? Karena memang fokus rusuhnya jelas pilpres. Itu saja, tekanan pada MK untuk bisa gamang dan takut.

Pelakunya juga jelas, kubu 02 dan faksi yang itu lagi-itu lagi. Fokus sangat jelas pada tuntutan dan pelaku. Potensi menjadi besar sangat mungkin. Media sosial sebagai pembagi narasi menjadi penting. Ketika itu lemah, melemah juga gaungan dampaknya. Berbeda dengan aksi kali ini, demikian banyak kepentingan dan faksi, pelaku juga sangat beragam. Memudahkan aparat penegak hukum mengakhiri.

Alasan lain semakin lemah adalah pelibatan anak-anak bawah umur, sekolah lanjutan atas, meskipun sudah berhak memilih, sebagian, toh masih juga lebih banyak yang tidak paham. Hal ini juga termasuk lemahnya rencana alternatif. Ketika mahasiswa sudah "menang" kelompok yang waras, maka mereka mengambil kelompok lain.

Lebih melemahkan semangat adalah aksi pengemudi ojek online yang batal. Apapun alasannya toh mereka jauh lebih rasional dari pada sebagian mahasiswa yang ngotot namun ternyata tidak tahu apa-apa secara esensial. Miris. Mosok mau dikenal eksponen 19 yang kalah dengan pengemudi ojek.

Mahasiswa itu harus bersikap kritis, harus dan wajib, namun tahu dengan baik isu dan permasalahan juga tidak kalah mendasarnya. Jadi tidak malah menjadi bulan-bulanan kawan dan pihak yang mau dikritisi. Belajar lagi lebih baik, terutama buka wawasan jangan hanya sepihak seperti selama ini.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun