Sangat pantas jika media sosial tetap dibiarkan berjalan apa adanya. Bandingkan "rusuh" Mei, di mana media sosial sempat "ngadat" mengapa? Karena memang fokus rusuhnya jelas pilpres. Itu saja, tekanan pada MK untuk bisa gamang dan takut.
Pelakunya juga jelas, kubu 02 dan faksi yang itu lagi-itu lagi. Fokus sangat jelas pada tuntutan dan pelaku. Potensi menjadi besar sangat mungkin. Media sosial sebagai pembagi narasi menjadi penting. Ketika itu lemah, melemah juga gaungan dampaknya. Berbeda dengan aksi kali ini, demikian banyak kepentingan dan faksi, pelaku juga sangat beragam. Memudahkan aparat penegak hukum mengakhiri.
Alasan lain semakin lemah adalah pelibatan anak-anak bawah umur, sekolah lanjutan atas, meskipun sudah berhak memilih, sebagian, toh masih juga lebih banyak yang tidak paham. Hal ini juga termasuk lemahnya rencana alternatif. Ketika mahasiswa sudah "menang" kelompok yang waras, maka mereka mengambil kelompok lain.
Lebih melemahkan semangat adalah aksi pengemudi ojek online yang batal. Apapun alasannya toh mereka jauh lebih rasional dari pada sebagian mahasiswa yang ngotot namun ternyata tidak tahu apa-apa secara esensial. Miris. Mosok mau dikenal eksponen 19 yang kalah dengan pengemudi ojek.
Mahasiswa itu harus bersikap kritis, harus dan wajib, namun tahu dengan baik isu dan permasalahan juga tidak kalah mendasarnya. Jadi tidak malah menjadi bulan-bulanan kawan dan pihak yang mau dikritisi. Belajar lagi lebih baik, terutama buka wawasan jangan hanya sepihak seperti selama ini.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI