Perayaan Hari Kesaktian Pancasila kali ini sejatinya lebih memilukan dibandingkan pada kejadian 65. Tentu bukan hendak merendahkan atau mengecilkan arti pengorbanan pahlawan kala itu. Hari ini Pancasila benar-benar sedang diuji dalam berbagai aspeknya. Ideologi yang hendak menggantikan pun tersedia dan  banyak penganutnya.
Miris lagi di dalam menyiapkan kesiapan ideologi pengganti itu menggunakan segala cara. Agama digunakan sebagai sarana, tameng, kedok, dan dalih. Persatuan Indonesia pun potensi ternodai dengan ulah fitnah, hoax, penggiringan opini dan persepsi, sikap saling curiga, dan kecemasan berbagai pihak.
Musyawarah dan mufakat malah ditolak oleh sebagian mahasiswa. Bagaimana jiwa Pancasila hilang ketika sebagian mahasiswa menolak ajakan pemerintah, bapaknya untuk dialog. Gambaran musyawarah dan penghargaan atas pemimpin dan orang tua sudah mulai luntur.
Tabiat adigang adigung malah menjadi seolah menguat dan menguasai. Mahasiswa sebagai agen perubahan malah sontak lebih oposisi dari oposisi. Mirisnya lagi mereka tidak paham esensi atas apa yang mereka lakukan. Miris.
Kekerasan, perusakan, dan saling intimidasi marak, meskipun ada juga beberapa daerah yang memberikan sajian sejuk, dewasa, dan bijak. Toh secara nasional keadaan baik itu tidak demikian mendapatkan panggung. Lebih dominan yang panas, ricuh, ribut, dan buruk mendominasi pembicaraan dan pemberitaan.
Kisah Kesaktian Pancasila yang kini dirayakan, adalah perjuangan menghadapi Komunisme, pro dan kontra masih saja terjadi. Tetapi secara sejarah yang sudah dicatat hal ini sudah terjadi dan cukup berdasar jika memang demikian adanya. Tidak perlu memperbesar kontra yang tidak bermanfaat. Peringatan baik demi menghayati Pancasila dan ideologi bangsa yang sudah final adalah Pancasila.
Komunisme dengan PKI konon dalam pustaka dikatakan hendak menggantikan Pancasila, dan peringatan pada 1 Oktober karena kegagalan aksi 30 September. Sekali lagi masih pro kontra, namun layak diambil sebagai bahan pembelajaran bersama, bahwa itu ada kebenarannya. Soal ada yang tidak setuju, toh masih bisa didiskusikan.
Pola aksi dan kaderisasi partai ini keren, cerdik, dan sukses. Partai lawan pun mereka masuki dan perkeruh sehingga menjadi saling curiga dan terjadi perpecahan. Militer pun demikian. Semua lini telah mereka jinakan dengan cara penyusupan.
Kaderisasi dan membangun partai yang cukup fenomenal dan demikian besar dan kuat. Jangan dianggap remeh dan sepele. Kekuatan mereka relatif lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan partai-partai lain.
Dan kegagalan peristwa G30 S itu menjadi stigma dan "teror" psikologis rival politik era lampau. Itu bukan hanya sehari dua hari, atau setahun dua tahun, 32 tahun menjadi hantu penakut bagi rakyat. Cap OT dan PKI demikian menakutkan. Ancaman untuk masa depan anak cucu hingga tujuh turunan.
Pola pendekatan, rekrutmen, dan membangun organisasi ternyata ada yang menggunakan, HTI. Mereka menyusup ke mana-mana. Sukses, dan mereka balik menggunakan ketakutan atas nama ideologi dengan mendengungkan kebangkitan PKI dalam segala aksi mereka. Mengapa demikian?
Mereka tahu dengan baik hanya model PKI yang bisa menyaingi kemasifan dan agresifitas mereka. Nah ketika lawan utama didengungkan sebagai wabah, mereka akan melaju sendirian. Efektif orang menjadi melaju sendirian tanpa ada lawan. Membuang rival potensial dengan cerdik.
Mengulang-ulang narasi lama yang membuat amat traumatis jelas murah, mudah, dan sederhana. Lihat saja apa aksi mereka akan selalu menggunakan pengulangan PKI dan kebangkitannya. Padahal dasar logisnya sangat lemah, mana ada Komunisme masih berjaya di muka bumi ini, yang sangat menjanjikan dan membuat berpaling.
Masih banyak anggota masyarakat yang enggan melek dan membaca pembanding. Dengan keterbatasan pengetahuan, ketakutan dan kekhawatiran cap OT masih mudah diterakan. Budaya pun sangat mendukung suburnya paham ini. Lihat banyak orang takut hantu, ular, dan banyak hal yang kadang sama sekali tidak memiliki alasan yang cukup jelas.
Mabuk agama. Hal yang sangat mudah terbakar jika ada pemantik sedikit saja. Nah ini lagi-lagi yang dimanfaatkan. Mengaitkan dengan kebangkitan PKI dan menyatakan adanya penistaan agama, solidaritas, dan  membakar sentimen atas nama agama sangat mudah.
Separasi kesalehan dan antiagama yang makin dalam gapnya, meskipun masih semata soal label, toh sangat mudah menjadi alasan dan dalil dalam menciptakan kondisi tidak stabil, rusuh, ricuh, dan menangguk keuntungan.
Kemenangan Pancasila kali ini adalah terhadap HTI dan kebodohan anak bangsa yang berbagai-bagai cara dimanfaatkan dan termanfaatkan oleh perilaku elit HTI. Suka atau tidak, toh data tersaji bahwa para pelaku demo, kekisruhan bersinggungan baik langsung atau tidak dengan mereka.
Pembubaran tanpa dengan tindakan nyata, konkret, dan terukur membuat mereka tetap eksis dan bisa berbuat apa saja. Â Mudah melarikan diri atas nama pihak lain, karena memang sudah bubar secara resmi. Namun di balik itu mereka masih demikian masif bergerak, berperilaku, dan bahkan menekan pemerintah.
Pancasila sekali lagi telah memenangkan dan menenangkan bangsa ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H