Amien Rais, Referendum Papua Merdeka di Majelis Umum PBB, dan Jokowi Kemaruk
Usai kisah gudeg di kepolisian, Amien Rais cukup pendiam, tidak banyak bicara yang aneh-aneh. Tiba-tiba dua isu dijadikan satu pernyataan ketika harlah partainya. Ia mengomentari soal pemindahan ibukota sebagai upaya ajimumpung Jokowi dan hati-hati soal pembicaraan Papua Merdeka di PBB. Cukup menarik.
Mengapa demikian? Ia tahu dengan baik bahwa panggungnya hampir habis, perlu banyak tingkah, agar didengar lagi, paling tidak ada saweran meskipun receh, karena berharap yang gede sudah tertutup rapat.Â
Tidak bunyi jelas malu dengan keyakinan dirinya yang memiliki kapasitasnya adalah presiden. Apakah demikian adanya, bahwa PBB memiliki agenda demikian terhadap Papua?
Awalnya ia menyatakan mengenai Papua jangan dianggap main-main, pada ujungnya soal pemindahan ibukota, dan ditambahi embel-embel pemerintah jangan kemaruk.Â
Istilah yang sangat tendensius, kurang faktual, dan lebih cenderung luapan rasa kecewa. Apa yang menjadi titik fokus justru bukan soal Papuanya, namun pemindahan ibukota dengan dalih Papua merdeka.
Mengapa demikian? Ia yang merasa kapasitas presiden itu lagi-lagi akan dilangkahi Jokowi dalam membuat sejarah dengan pemindahan ibukota negara.Â
Jelas akan masuk dalam buku sejarah bangsa, sedangkan ia lagi-lagi hanya jadi bagian luar atas sejarah yang awalnya ia ikut merintis. Nyeseklah.
Kemaruk itu, jika mumpung menjabat, memiliki pengaruh kemudian anak-anaknya dijadikan ini dan itu karena pamornya, bukan usaha dan kemampuannya. Tahu kan siapa yang demikian? Amin atau Jokowi?
Apakah benar narasi bahwa PBB akan mengagendakan adanya  opsi pembicaraan Papua Merdeka? Beberapa hal patut dicermati;
Upaya memaksakan pembicaraan mengenai Papua memang pernah dan sering dicoba, beberapa waktu lalu juga sudah diusahakan.Â