Enzo, Stopislamophobia, dan Film Hotel Mumbai
Beberapa waktu lalu baru sempat melihat film Hotel Mumbai, di mana film itu berkisah soal terorisme di sebuah kota di India. Berangkat dari kisah nyata, film ini lumayan panjang, dan banyak simbolisasi yang penting. Syukur bahwa tidak ada polemik karena adanya terorisme yang sangat sensitif biasanya di sini, apalagi berkaitan dengan agama.
Saya tidak akan membahas film ini, namun menjadi penting karena berkaitan dengan banyak isu dan sedang ramai-ramainya mengenai salah satu taruna Akademi Militer yang memiliki rekaman cukup gamblang, ibu dan dirinya memiliki dugaan afiliasi dengan kelompok yang sudah dilarang di Indonesia.
Terorisme dan Kamuflase.
Dalam sebuah adegan, ada pelaku teror yang terserempet peluru polisi. Ia ditugaskan untuk menjaga para sandera. Kesempatan  itu, ia pergunakan untuk menghubungi keluarganya. Dari sana ia tahu bahwa keluarganya belum mendapatkan transferan sebagaimana yang mereka janjikan.
Hal ini membuatnya marah dan mulai bimbang. Kebimbangannya memuncak kala ia ditugaskan untuk membunuh perempuan barat yang sedang berdoa, doa agamanya lagi. Konflik batin antara perintah kalau itu adalah kafir atau doa yang ia saksikan.
Cukup jelas juga apa yang disuarakan eksanggota DAESH yang ingin pulang beberapa saat lalu. Mereka berteriak meminta tolong dan mereka itu dulu pernah dengan gagah perkasa membakar paspor RI mereka. Kalau tidak terkelabuhi, mana mau mereka membakar paspor dan kini minta tolong untuk balik. Ada sesuatu di sana.
Kecenderungan lebih banyak hal ini, di mana mereka tidak paham dengan apa yang mereka ikuti dan dalami. Pola rekrutmen dan pendekatan pun perlu dilihat dan kebanyakan mengandung unsur pembiasan faktaul. Pengubahan persepsi dan data separo yang disajikan. Narasi ini juga jelas dikatakan dalam film itu dan apa yang kita temui.
HTI Perjuangan namun Ditolak di Negeri Asal dan Banyak Negara
Narasi yang dikembangkan selama ini adalah ormas ini baik-baik saja, memperjuangkan agama dan politik dengan normal, mengapa dilarang? Yang melarang berarti antiagama. Dan itu didengungkan terus menerus. Nah mengapa di pusat lembaga ini, adanya di Inggris mereka memang tidak melarang, namun sering mengutuk aksi mereka.
Jika memperjuangkan agama, namun mengapa Turki Libya, Lebanon, Arab Saudi bahkan, hingga Suriah, Malaysia, dan kini Indonesia melarang. Mosok Indonesia antiislam, lha jika demikian, apa artinya Saudi Arabia? Apa iya antiislam sekaligus pusat Islam baik peradaban ataupun semua hal mengenai Keislaman?
Kurang Islamnya apa Turki, Suriah, Lebanon, Pakistan, coba? Toh mereka melarang juga, apa mereka mau dilabeli juga memusuhi Islam dan adanya Islamophobia? Apa iya bisa sekaligus pusat Islam sekaligus ketakutan terhadap Islam?
Dalam film itu salah satu motivasi yang ditekankan adalah kemiskinan dan keberadaan Muslim yang masih jauh dari harapan. Itu adalah salah Nonmuslim dan itu harus dibalas. Mulai menemukan titik temu di mana point pertama dan yang sedang dibahas ini.
Kemiskinan dan Keberadaan Strata Sosial Bukan Soal Agama
Apapun agamanya ada yang kaya ada yang miskin. Kemajuan juga ada di semua agama. Tidak ada agama menghambat kemajuan agama lain atau agama membuat agama lain mundur ke belakang. Â Mau maju atau tidak itu bukan soal agamanya, namun soal kemauan dan kehendak untuk berubah.
Mana ada Islamophobia di sekitar kita, itu adalah jargon, kampanye, dan  upaya memecah belah  kesatuan umat sendiri. Orang hendak disulut dengan sentimen agama, yang memang sangat mudah di tengah budaya dan bangsa ini.
Sejarah panjang pihak ketiga memainkan isu dan kondisi ini demi kepentingan  mereka. Mereka menjadikan tabiat bangsa ini untuk mendapatkan keuntungan.
Lha bagaimana tidak, ormas yang dibubarkan itu malah menyulut permusuhan terhadap NU dengan seluruh jaringannya. Menuding Islam Nusantara sebagai sesat, dan seterusnya. Lha memang Islam Nusantara itu isinya orang Kristen dan Katolik, atau Hindu dan Budha begitu? Kan jelas tidak.
Narasi yang biasa dikembangkan nantinya adalah penistaan agama, memusuhi agama, dan antiagama, padahal tidak, yang ada adalah mendukung pemerintah yang telah melarang ormas itu. Sekali lagi bukan soal agama, namun ormas yang telah dilarang.
Salah satu fakta yang tidak bisa dibenarkan, salah satu yang kemungkinan telah terpapar ajaran itu adalah, orang yang dengan gampang menghujat pemerintah dan presiden dengan kata-kata sangat tidak patut. Baik itu Enso, ibunya, atau yang pernah ikut DARSH dan pengin pulang.
Sederhana saja, bagaimana ada anak yang pernah memaki bapaknya kemudian mau minta uang untuk membeli jajan. Benarkah uangnya untuk jajan, atau membeli racun untuk meracuni bapak, atau membeli bensin untuk membakar rumah? Ini bentuk antisipasi, pro dan kontra itu wajar, asal masih bernalar dan memberikan argumen yang masuk akal, bukan asal sama label pasti benar dan beda pasti salah.
Kedewasaan menjadi penting, memilah dan memilih dengan jernih apa yang dibahas, apa yang dipersoalkan. Nah kesimpangsiuran dan suka campuraduk inilah yang dimanfaatkan petualang dalam banyak hal.Â
Salah satunya pernah membuat pilkada menjadi ajang agamis, padahal sejatinya tidak ada dalam konteksnya. Sama juga berbicara mengenai terminal namun yang dibahas mahal kereta api. Mana ada titik temunya, selain pemaksaan kontekstualisasinya. Dan itu masih menjangkiti banyak anak negeri ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H