Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Tidak Boleh Kecewa, Kemarahan Jokowi, dan Kelucuan Listrik Mati

6 Agustus 2019   08:39 Diperbarui: 6 Agustus 2019   17:33 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi yang pernah hidup di Jawa dan Luar Jawa manapun, apalagi pedalaman, kejadian seperti hari Minggu lalu hal yang biasa. Sebetulnya ada tema lain, tapi ini lebih mendesak karena banyak kejadian yang membuat memalingkan ari topik satunya.

Fakta bahwa persoalan listrik, BUMN, dan segala yang ada di sana itu rawan. Rawan dalam banyak hal dan bidang, apalagi ditengarai maraknya penyusupan ideologi yang hendak mengganti Pancasila. 

Memang sebatas rumor dan isu namun takan ada asap jika tanpa api, artinya bahwa sangat mungkin hal itu terjadi. Apalagi jika  mencermati pola kegiatan keagamaan di sana. Tanpa perlu dibeber silakan cari sendiri, daripada nanti dituduh penistaan, kan cilaka.

Kelucuan demi kelucuan tersaji, mulai cerita tidak mandi hampir dua hari, kebahisan air dan setrikaan menumpuk. Namun ada gubernur yang baik hati memikirkan kulkas. 

Toh itu baik-baik saja. Persoalan menjadi politis ketika pimpinan dewan mengatakan presiden tidak boleh kecewa yang kecewa itu rakyat. Boleh lah pendapat kog.

Kemarahan Presiden
Dua posisi presiden yang marah, sebagai warga negara, ingat presiden juga warga negara. Presiden layak marah atau jengkel karena posisi sebagai presiden yang memiliki tanggung jawab atas keseluruhan organ dalam negara berjalan dengan semestinya. Ia menegur seperti bapak yang anaknya abai dalam belajar dan gagal ujian.  Itu kewajiban presiden.

Apalagi jika bicara soal manajemen dan penyertaan modal. Pantas lah marah lebih besar lagi. Bagaimana perusahaan yang dimodali besar-besaran, dapat keistimewaan banyak hal, namun mengalami keadaan demikian. Apa iya,  perusahaan gagal  namun tidak boleh kecewa.

Diksi kalian pinter-pinter, pilihan keras, lugas, dan sangat menusuk jika menggunakan falsafah Jawa. Mengapa bukan profesional. Entah jika bukan Presiden Jokowi yang marah dan kecewa, sangat mungkin akan keluar kata goblog, ideot, lulusan universitas terbaik hasilnya nol besar. Syukur kemarahan itu dikemas dengan baik.

Narasi yang dibangun bahwa karyawan menyeberangi kawat di langit itu bukan persoalan yang menjadi bahan kekecewaan, dan juga tidak mengurangi kesalahan mereka. 

Nalarnya adalah, seharusnya hal itu bisa diantipasi sehingga tidak perlu ada yang perlu meniti di langit yang demikian panas. Pemeliharaan benar ada panjat-panjat, toh dalam keadaan terpaksa, tergesa, dan dalam tekanan.

Kekecewaan warga itu bukan mengabaikan jasa petugas PLN masalah berbeda. Lihat bagaimana perilaku mereka jika ada konsumen menunggak bayar tagihan?  Kesalahan kelola manajemen, bukan soal di lapangan kog ini.

Persoalan menjadi politis  ketika ditarik-tarik oleh banyak pihak. Bagaimana nalarnya ada ungkapan ganti presiden, berbeda ketika itu menjadi ledakan dan menewaskan riban orang, jelas presiden harus bertanggung jawab dan mundur.

Itu soal kemanusiaan, ini baru kerugiaan material dan ekonomi, bukan nyawa. Terlalu jauh dari pertanggungjawaban seorang presiden.

Pernyataan pimpinan dewan yang mengatakan presiden tidak boleh kecewa dan menuding salah kelola jelas ini ditarik-tarik menjadi persoalan politik. 

Jauh dari masalah politik sebenarnya, lepas bahwa ada kemungkinan indikasi sabotase, dan adanya persoalan idelogis yang terkuak dari berbagai rekam jejak yang ada dari dalam tubuh BUMN.

Pernyataan pimpinan dewan ini jelas tidak proporsional, panggil saja direksi PL dan BUMN dan tanya mengapa bisa terjadi. Atau malah tidak tahu yang seharusnya dilakukan? 

Dan malah mengritik pelaku yang memiliki tanggung jawab? Seharusnya malu, mereka lah pengawas namun belum melakukan apa-apa. Harusnya malu bukan malah ngoceh.

Agar tidak lagi terjadi seperti ini, perlu kiranya terobosan baru untuk perlistrikan nasional. Bagaimaa pengelolaan menjadi lebih bersih jelas itu urusan negara. Dan betapa ribetnya badan negara ini toh semua paham. Bagaimana khabar konon korupsi gardu induk yang era lalu ramai itu?

Belum lagi ceramah-ceramah nuansa agama yang bergaung nyaring itu. Apakah tidak ada kaitannya, apalagi jika dikaitkan dengan pilpres yang baru usai namun belum ada pelantikan. Adakah orang atau kelompok yang hendak menaikan posisi tawar baik dalam proyek atau mengamankan posisinya? Ini mungkin saja terjadi.

Memikirkan untuk kedepannya lebih banyak upaya kemandirian energi listri untuk rumah tangga. Misalnya memberikan subsidi untuk penyediaan sel tenaga matahari. Masih cukup mahal investasi untuk skala rumah tangga. Toh masih ada yang lebih murah. Jika demikian, urusan rumah tangga tidak akan menjadi masalah.

Lalu lintas dan penerangan jalan. Beberapa tempat sudah ada dengan tenaga matahari, dan perlu lebih digalakan sehingga kebutuhan untuk jalan, dan lampu pengatur lalu lintas tidak akan lebih parah lagi.  Penerangan jalan akan mengurangi kesan kota mati dan tidak akan gelap segelap-gelapnnya.

Kebanyakan gedung-gedung dan rumah tangga juga memiliki generator, namun tu toh energi fosil, mengapa tidak tenaga surya yang melimpah di negara ini. Ini soal kehendak dan manajemen yang memang merasuk dalam seluruh tatanan hidup berbangsa. Ada yang susah mengapa dipermudah.

Apa yang melimpah malah menjadi bencana ya bangsa ini, sinar matahari berlimpah ruah, air pun demikian, tetapi karena kurang memberikan kemanfaatan bagi beberapa pihak, ya mau apa lagi. Rakyat hanya bisa menonton.

Wacana, saling tuding, itu bukan penyelesaian, namun apa iya nantinya mau terulang lagi dengan cara yang lebih konyol? Kan tidak. Itu yang penting. Pemikiran ke depan, antisipasi, bukan reaksi yang seperti orang kebelet namun bau buat jamban.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun