Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

DPR Mengurus Kimi Hime, Udara Kotor Beli Alat Akurat, Macet Dihibur, Solusikah?

26 Juli 2019   08:41 Diperbarui: 26 Juli 2019   09:18 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DPR Mengurus Kimi Hime, Udara Kotor Beli Alat Akurat, Macet Dihibur, Kualitas Kepemimpinan

Entah apa yang ada dalam benak anggota dewan, ketika rapat dengar pendapat dengan Kemenkominfo membahas salah satu youtuber yang dinilai seronok. Tentu tidak menjadi masalah, karena memang itu adalah tugas dan kewenangannya, namun ketika berbicara satu hal, kasus per kasus, mosok bayari pululuhan juta per bulan hanya selevel itu.

Sepakat bahwa pornografi bukan tontonan yang sehat dan mendidik. Ulasan itu bukan ranah ini, namun betapa model kepemimpinan di Indonesia masih dalam kisaran remeh temeh dan hal yang tidak mendasar. Menyelesaikan masalah bukan pada sumber persoalan. Sama juga badan meriang malah beli termometer lebih baik, ups ini kata gubernur Jakarta ya, bukan dewan.

Sebelum masuk pada pembahasan ulah dewan ini, mengulang artikel beberapa waktu lalu, karena satu tema, Jakarta dinyatakan sebagai salah satu kota terburuk kualitas udaranya. Gubernur Anies berwacana membeli alat yang lebih canggih dan lebih akurat. Lha juk apa kanggone? Memang kalau lebih akurat kualiitas udara juga berbuah menjadi baik?

Masalahnya ada polutan banyak, dideteksi seperti apapun tetap pengotor udara itu banyak, tidak akan berkurang. Solusinya ya kurangi jumpah pencemar, tambahkan ruang terbuka hijau, dan perbaiki kualitas hidup dan sikap bertanggung jawab pada lingkungan. Mosok begitu gubernur tidak tahu?

Salah satu pimpinan daerah juga membuat kebijakan, ketika di perempatan atau lampu lalu lintas, pengguna jalan yang terdampak atas kemacetan dihibur dengan lagu. Bagus dan boleh, pantas dengan hiburan tingkat stres manusia menjadi turun.

Namun lagi-lagi apa macetnya berkurang. Stres ini kan akibat macet, memang stresnya bisa berkurang, namun tetap macet bukan? Dampak macet itu bukan semata orang menjadi stres, namun dampak lain juga banyak, seperti ekonomi, efektifitas, dan jelas lagi pencemaran udara.

Lagi-lagi ditampilkan pemimpin menyelesaikan masalah dalam kadar menengah, bukan yang esensial dan  mendasar. Akar masalahnya masih tetap saja. Persoalan yang diselesaikan hanya sebagian kecil. Selengkapnya di sini.

Tiba-tiba dewan malah dalam level RDP membahas salah satu youtuber. Mengapa seolah meremehkan apa yang mereka bicarakan? Begini, namanya dewan itu mengurus yang mendasar, besar, dan berdampak nasional. Jadi soal salah satu akun dalam media sosial dan dampaknya kog tidak juga nasional, apa ya patut?

Beberapa hal yang lebih dalam patut dicermati.

Satu akun dalam media sosial itu telah melalui serangkaian tahap untuk menjadi sebuah pembicaraan, proses panjang, kadang soal konten atau isi itu akan ditemukan dengan berbagai-bagai pengalaman jatuh bangun. 

Miris ketika anggota dewan, yang maaf memang jarang yang bekerja keras, berproses panjang, hanya melihat sekilas, dan sepenggal dan menjadikan itu bagian yang seolah-olah besar.

Dua, sepakat pornograsi, generasi muda, dan juga media yang memfasilitasi itu perlu dicermati. Namun apa iya, sekelah dewan RDP memasukan masalah ini, sama juga ribut dalam rumah tangga karena beras habis, suaminya malah selingkuh, dan itu RDP dengan menteri pemberdayaan perempuan, kan tidak, kecuali itu sudah ribuan keluarga mengalami itu. 

Toh malah  banyak pegiat mediaa sosial malah jadi tahu karena ada pembicaraan dari dewan ini. Artinya tidak seheboh dalam benak para anggota dewan kog.

Tiga, jauh lebih mengerikan mana akun media sosial ini, bandingkan dengan yang pernah dulu menjadi pemberitaan nasional semacam saracen, toh mereka tidak pernah membawa itu dalam RDP, paling tidak sepanjang ingatan saya. Jangan bahas saracennya, namun akun-akun model demikian. 

Atau bandingkan akun media sosial ini dengan beberapa akun yang sangat aktif di dalam menebarkan kebencian, berita bohong dan palsu, menghujat agama dan pemerintah. Atau mereka tidak tahu?

Empat, media sosial itu benar-benar bebas, bagus bahwa dewan tahu kekinian, namun jangan menutup mata pada akun yang menebarkan hasutan karena dalam satu golongan kemudian diam, dan galak karena pornografi. 

Bandingkan dampak manusia dalam gua, dan pornografi sama mengerikannya lho. Dan itu tokoh agama, tokoh masyarakat, bahkan ada anggota dewan. daya rusaknya sama saja.

Jangan merasa mampu dan hebat soal selangkangan dan dada saja, namun di depan mata teroris memberikan pantatnya menantang untuk ini dan itu. Ini sama dampaknya, jangan  berbicara hanya ranah pornogafi namun abai terorisme, hasutan oleh tokoh agama. Ingat ini tokoh agama itu bisa agamanya apapun, tidak berbicara apalagi penistaan agama, namun perilaku tokoh agama.

Lima, jauh lebih penting adalah memberikan literasi dan pendidikan bermedia yang bertanggung jawab, bukan malah memasung kreaifitas atas nama dalih dan dalil agama. Semua media menyediakan fasilitas perlindungan kog, jangan malah menjadikan media sebagai musuh dan malah ribet dengan  hal remeh temeh.

Jauh lebih penting adalah memberikan  pembekalan, pendidikan, pengertian, dan pemahaman, bahwa membuat konten positif itu juga bermanfaat. Orang yang berkecenderungan mengejar viral, jangan lupa dewan pun perilakunya demikian, lihat dalam masa pemilu seperti apa. Keteladanan menjadi penting, jangan malah sok kuasa, padahal juga pelaku dengan bentuk yang berbeda.

Pendidikan moral. Ranah agama memegang penting dan signifikan. Bagaimana benar dan salah selama ini selalu menjadi tarik ulur, apalagi orang politik. 

Kembali soal keteladanan, jangan sok suci namun munafik. Kebenaran universal jika bangsa ini berarti Pancasila dan turunannya, jangan ditarik-tarik pada hal yang sesuai kepentingan semata.

Penekanan pada pendidikan kritis, pendidikan sekolah masih sebatas menghafal, bagaimana anak didik tidak memiliki ruang untuk memilah dan memilih. Masalah itu akan selalu ada, namun jika anak didik mampu memilih yang baik, apapun keburukan banyak tidak akan menjadi pilihan.

Apa yang tersaji dalam pikiran dewan itu baik, namun tidak cukup menjadi bahan perbaikan hidup berbangsa lebih jauh lagi. Level ecek-ecek yang masih ribut dengan kemampuan dasar  makhluk hidup, padahal masih banyak hal yang jauh lebih besar, pelik, dan sepertinya mereka tidak mampu melihat itu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun