Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rebutan Kursi dan Rekonsiliasi Proporsi ala Amien Rais

22 Juli 2019   07:47 Diperbarui: 22 Juli 2019   07:55 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari rekan Kompasianer membuat status pada media sosial soal rebutan kursi yang seolah tradisi, mulai masuk sekolah hingga topnya di Senayan sana.  Jadi ingat beberapa waktu lalu ada khabar oleh media, kalau di sebuah desa memiliki tradisi orang tua sejak dini hari sudah antri mencarikan tempat duduk bagi putera-puterinya di tempat strategis. Artinya posisi ideal bagi orang tua bukan anak.

Rebutan juga terjadi lho. Pun di angkutan umum, apalagi hari-hari tertentu rebutan bangku juga sama. Mungkin momen mudik saat ini tidak begitu terasa, untuk beberapa tahun yang lalu, kereta terutama kereta murah hal yang sangat familiar menghiasi pemberitaan demi pemberitaan, bahkan ada yang masuk melalui cendela. Kini hilang semua sudah rapat karena menggunakan pendingin ruangan.

Suap, kolusi, dan nepotis mewarnai masuk sekolah dan universitas dengan fakultas dan jurusan favorit, kerja  di tempat yang menjanjikan, sekolah kedinasan, dan sejenisnya pernah menjadi ajang rebutan dan maaf cakar-cakaran, dengan kadang menyisihkan orang potensial hanya karena tidak memiliki uang, koneksi, dan penjamin yang bisa membantu. Hal yang sangat akrab di telinga beberapa tahun lalu. Apakah sudah bersih? Itu masih tanda tanya (?)

Baru membaca stats itu, ada lintasan pernyataan mantan ketua MPR yang entah mabuk pujian atau memang dasarnya dan wataknya membuat kisruh, eh tiba-tiba mengatakan rekonsiliasi ya berarti bagi-bagi kursi 55% dan 45%. Entah ide atau gagasan dari mana, seolah luar biasa bagus, indah, berkelas, dan hebat. Namun apakah demikian?

Pertama, namanya demokrasi ya yang menang memiliki kesempatan memimin, yang kalah bisa memilih bergabung atau menjadi pengawas. Itu lumprahnya. Ini hanya dua kubu, lha bagaimana jika ada tiga atau empat kubu? Dan apa iya kemarin masa kampanye isinya demikian tiba-tiba bersama dalam satu kamar. Aneh.

Kedua, apa iya dia sudah lupa kalau era lalu, mereka "menyabotase" dewan dan lingkungan termasuk MPR, dan DPD. Koalisi kalah pemilu namun menang jumlah kala voting, sebelum Golkar dan P3 pindah kandang. Menguasai dewan, padahal pemilu pun kalah.

Ketiga, pemenang pemilu pun sampai tiga tahun lebih merengek baru bisa mendapatkan alokasi kursi wakil, itupun dengan menambah, bukan menyerahkan kepada yang berhak. Miris jika berbangsa dibuat bagi-bagi seenak udelnya sendiri begitu.

Keempat. Apa gunanya pemilu dan kompetisi jika model pemerintahan dan tata negara kog seperti itu. katanya ahli ilmu politik, ternyata ngaconya lebih lagi.

Kelima, sebelum ini mengatakan, kalau lebih baik ada di luar kekuasaan sehingga bisa menjadi pengontrol, namun tiba-tiba meminta bagian 45%, nalarnya dari mana bisa tiba-tiba berubah demikian?  ide dan gagasan yang tidak mendasar dan asal-asalan alias akal-akalan.

Beberapa hal di atas seolah memperlihatkan bagaimana kondisi tata negara dan hidup berbangsa ini justru dirusak oleh elit, pelaku dan politikus tingkat tinggi namun maaf blooni. 

Rakyat dan akar rumput sudah selesai kog, sudah bekerja lagi, sudah cari makan lagi, elit masih kisruh dengan rebutan kursi. Lucunya justru yang kalah pemilu yang paling garang dan seru.

Mengapa demikian?

Satu, demokrasi lebih banyak dipakai sebagai kedok. Pola pikir mereka masih ala kerajaan, feodal, dan ala-ala sejenis. Mereka menggunakan demokrasi hanya sebagai kendaraan, kedok, biar dikira demokrat dan modern. Nyata ketika kalah mereka meradang seperti pangeran yang kalah duel dalam memperebutkan cinta puteri raja.

Dua, demokrasi kanak-kanak, ketika mereka tidak siap kalah, hanya  berpikir pokoke, kudu, dan kalau kalah adalah pihak lain curang. Jelas ini demokrasi anak PAUD, bukan semata TK ala Gus Dur almarhum. Lebih rendah lagi kali ini demokrasi dan politikusnya. Ketika maju berkontes harus siap kalah, jangan mengharsukan menang.

Tiga, kekuasaan menjadi fokus, bukan hidup bernegara yang baik. Lucu dan aneh ketika kalah pun tidak kalah terhormat dengan menjadi pengawall pemerintahan yang baik dan benar. Contoh konkret PDI-P dan Gerindra sukses 10 tahun melakoni peran itu, dan suara mereka signifikan dan konsisten di atas.

Empat, menjadi tanya, apakah benar BUMN, kementrian itu lumbung dan ATM elit, kog sebegitu ngototnya harus menang, padahal jelas-jelas pemilihan kalah.

 Jika motivasinya demikian, negara menjadi perahan mereka, rakyat hanya menerima remah-remah atas ketamakan mereka. Padahal remah-remahnya pun dibuat makanan ternak mereka, dan kembali mereka makan. Nah lebih rakus dari babi jika demikian.

Apa yang bisa dilakukan jika model demikian terus menerus?

Ciptakan kompetisi yang sehat sejak awal. Selama ini bangsa ini memiliki tabiat takut bersaing, kalah sebelum bertanding, dan ketika berkompetisi cenderung tidak pas. Kisah kancil dan keong kog lebih bagusan yang versi barat, di mana yang punya potensi terlena, di sini yang lemah berlaku curang dengan menempatkan banyak keong di sepanjang jalur. Dongeng yang menjadi sebuah kekuatan untuk bersikap demikian.

Sikap beranggung jawab sebagai buah roh, buah beragama. Jangan semata  agama itu ritual dan hapalan, namun berbuah dan berdampak. Salah satu buah itu adalah tanggung jawab, sportif, dan mengakui kekalahan dengan jiwa besar.

Lihat mereka yang ngeyel tidak menerima kekalahan itu semua beragama, ahli agama, namun toh abai akan sikap dasar untuk mengakui kekalahan. Sikap yang sejatinya memalukan.

Beajar teratur, tidak berebut, dan menghormati pihak lain sama dengan diri sendiri. Berebut itu karena menomorsatukan diri dan melupakan pihak lain dan menganggapnya sebagai nomor belakang. Ini lagi-lagii sikap anak-anak.

Harapan  perlu dikedepankan, hidup bersama menjadi lebih baik, minimal budaya antri di beberapa tempat sudah membaik dan bagus, memang masih perlu waktu, apalagi untuk politikus. Masih perlu waktu dan terus berdoa untuk itu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun