Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rebutan Kursi dan Rekonsiliasi Proporsi ala Amien Rais

22 Juli 2019   07:47 Diperbarui: 22 Juli 2019   07:55 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa demikian?

Satu, demokrasi lebih banyak dipakai sebagai kedok. Pola pikir mereka masih ala kerajaan, feodal, dan ala-ala sejenis. Mereka menggunakan demokrasi hanya sebagai kendaraan, kedok, biar dikira demokrat dan modern. Nyata ketika kalah mereka meradang seperti pangeran yang kalah duel dalam memperebutkan cinta puteri raja.

Dua, demokrasi kanak-kanak, ketika mereka tidak siap kalah, hanya  berpikir pokoke, kudu, dan kalau kalah adalah pihak lain curang. Jelas ini demokrasi anak PAUD, bukan semata TK ala Gus Dur almarhum. Lebih rendah lagi kali ini demokrasi dan politikusnya. Ketika maju berkontes harus siap kalah, jangan mengharsukan menang.

Tiga, kekuasaan menjadi fokus, bukan hidup bernegara yang baik. Lucu dan aneh ketika kalah pun tidak kalah terhormat dengan menjadi pengawall pemerintahan yang baik dan benar. Contoh konkret PDI-P dan Gerindra sukses 10 tahun melakoni peran itu, dan suara mereka signifikan dan konsisten di atas.

Empat, menjadi tanya, apakah benar BUMN, kementrian itu lumbung dan ATM elit, kog sebegitu ngototnya harus menang, padahal jelas-jelas pemilihan kalah.

 Jika motivasinya demikian, negara menjadi perahan mereka, rakyat hanya menerima remah-remah atas ketamakan mereka. Padahal remah-remahnya pun dibuat makanan ternak mereka, dan kembali mereka makan. Nah lebih rakus dari babi jika demikian.

Apa yang bisa dilakukan jika model demikian terus menerus?

Ciptakan kompetisi yang sehat sejak awal. Selama ini bangsa ini memiliki tabiat takut bersaing, kalah sebelum bertanding, dan ketika berkompetisi cenderung tidak pas. Kisah kancil dan keong kog lebih bagusan yang versi barat, di mana yang punya potensi terlena, di sini yang lemah berlaku curang dengan menempatkan banyak keong di sepanjang jalur. Dongeng yang menjadi sebuah kekuatan untuk bersikap demikian.

Sikap beranggung jawab sebagai buah roh, buah beragama. Jangan semata  agama itu ritual dan hapalan, namun berbuah dan berdampak. Salah satu buah itu adalah tanggung jawab, sportif, dan mengakui kekalahan dengan jiwa besar.

Lihat mereka yang ngeyel tidak menerima kekalahan itu semua beragama, ahli agama, namun toh abai akan sikap dasar untuk mengakui kekalahan. Sikap yang sejatinya memalukan.

Beajar teratur, tidak berebut, dan menghormati pihak lain sama dengan diri sendiri. Berebut itu karena menomorsatukan diri dan melupakan pihak lain dan menganggapnya sebagai nomor belakang. Ini lagi-lagii sikap anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun