Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies, Ahok, dan Jokowi

16 Juli 2019   08:49 Diperbarui: 16 Juli 2019   08:59 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anies, Ahok, dan Jokowi

Pertama mengapa menggunakan nama Ahok bukan BTP, karena mau membahas "manusia lama" BTP, Ahok yang menjadi pembicaraan. Ketiganya gubernur dengan cara berbeda-beda untuk duduk sebagai orang nomor satu di DKI itu. Cukup unik memang keberadaan mereka ini, apalagi jika berbicara mengenai capaian.

Jokowi yang moncer di Solo, akhirnya membawanya masuk jajaran elit negeri dan menang melawan incumbent, Foke dengan segala pengalaman, dukungan politik dari pusat yang demikian kuat, sesama Demokrat, dan tentu birokrasi ala lampau.

Dua putaran Jokowi-Ahok sukses  untuk menjadi pasangan pimpinan DKI. Penataan demi penataan, gebrakan demi gebrakan dilakukan duet paling solid selama ini di dalam pemerintahan, yang sependek pengetahuan belum pernah ada lagi sesolid dan sesinergis mereka.

Jika melihat ganda putra badminton, kita banyak menemukan duet mengerikan dengan kekhasan mreka, Ricky-Rexy dengan rotasi yang mumpuni, atau kini minion, dengan keusilan dan kecepatan pukulan mereka. Pun ganda campuran juga demikian, banyak yang telah ada dan akan ada, pimpinan daerah belum, pun pusat pun belum.

Ahok, ini memang orang yang cukup menghebohkan dengan segala akibatnya. Mulutnya yang comel telah menebarkan banyak permusuhan. Berkali ulang menulis, ia jatuh bukan karena agama atau etnisnya, namun perilaku dan comelnya. Perilakunya yang mengacak-acak budaya lama korup, kerja seenaknya, dan omong asal bicara membuat banyak musuh.

Jokowi mengalami yang sama, ASN memilih kurang dari 30%, artinya hal yang sama dialami, soal etnis dan agama. Ahok yang Kristiani dan Chines pun disematkan pada Jokowi, artinya keduanya dijadikan musuh bersama karena kinerja bukan soal asal usul, latar belakang, etnis, ataupun label lain.

Kinerja dan prestasi malah  yang menjadi penghambat bagi laju pelayanan mereka. Soal etnis, di daerah juga ada yang beretnis Chines, soal Kristen ada juga, dan mereka baik-baik saja. Sepanjang DPRD-1,2 diam, artinya aman-aman saja pemerintahan itu, dan indikasi ada "permainan" di sana. Lihat usai Ahok, dewan paling ribut di Indonesia diam seribu bahasa. Tidak ada lagi berita mengenai keributan dan keriuhan antara legeslatif dan eksekutif.

Anies. Ini cukup heboh karena semua sudah paham dengan apa yang terjadi. Tidak perlu lagi menjadi bahasan, sudah usang dan juga basi. Satu yang jelas lebih menarik adalah mulainya membesarkan, menggaungkan namanya, usai Prabowo dianggap penghianat. Pelakunya dan kelompoknya pun sudah dipahami dengan baik oleh banyak pihak.

Keuntungan apa dengan nama Anies belum juga pelantikan sudah dilambungkan?

Pertama, gampang meliihat arah mereka ke mana. Dan mereka miskin inovasi, emosional, dan politik pokoke. Mereka kebingungan dengan apa yang terjadi jika ada perubahan. Sangat mudah mematahkan dan membonsai perkembangan mereka.

Kedua, Anies itu mengganti Jokowi, Ahok, Djarot yang inovatif, eh sama sekali Anies ini  bukan tipikal pekerja seperti ketiganya. Kualitasnya dengan mudah terbaca dan itu menjadi kendala yang cukup besar. Sama sekali tidak ada kebaikan progresif sebagaimana ketiga pendahulunya itu, dan ia tenang-tenang saja.

Ketiga, capaian di Jakarta bukan maju, kalau terlalu kasar mundur, minimal tidak ada perubahan. Malah hanya soal uang, anggaran, dan pembicaraan kisaran proyek yang tidak berdampak banyak bagi masyarakat. Ini jelas point sangat penting.

Keempat, menteri diganti, jelas cacat yang amat, dengan menjadi gubernur pun tidak memberikan bukti prestasi, selain hanya wacana dan silat lidah yang berlebihan. Mungkin masih bisa di era lampau, sepuluh hingga dua puluh tahun lalu. Kalau kini ya habis.

Kelima, permainan politik identitas telah gagal, karena memang mereka tidak memliki rencana cadangan, pilkada DKI 2017 sebagai kecelakaan politik diantisipasi dengan baik untuk pilpres 2019, mosok 2024 malah akan balik lagi ke sana. Kemungkinan sangat kecil.

Keenam, ini hasil kinerja kelompok emosional, malah makin membuka kedok, borok, permainan, dan upaya mereka selama ini yang bak anak ayam kehilangan induk. Mereka kebingungan sendiri dengan apa yang terjadi. Aksi mereka adalah aksi bunuh diri.

Ketujuh, pemerintahan yang sudah tidak memiliki beban, bisa bekerja dengan maksimal, salah satunya membuang ormas, gerakan, kelompok yang selama ini mempermainkan hidup bersama dengan pemaksaan kehendak, menyeragamkan apapun, berbeda itu salah dan harus sama. Itu semua kini membuka tabirnya masing-masing.

Kondisi ini jelas terbaca, kog, mereka memang suka menyusup, namun mereka lemah di dalam memainkan peran di permukaan. Mengapa? Karena mereka suka berebut kekuasaan, maunya semua tampil. Upaya lama, rapi, dan awalnya solid itu menjadi sulit, dan malah berantakan.

Kesaktian waktu yang akan menjawab memang benar adanya, selama ini gerakan fundamentalis demikian digdaya, toh dengan kegagalan pilpres 2019 menguak semua wajah mereka. Eforia pilkada 2017 membawa berkat di balik musibah demokrasi. Mereka merasa bisa melakukan apa saja dan menguasai negeri dengan mudah. Ternyata tidak demikian.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun