Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies, Ahok, dan Jokowi

16 Juli 2019   08:49 Diperbarui: 16 Juli 2019   08:59 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, Anies itu mengganti Jokowi, Ahok, Djarot yang inovatif, eh sama sekali Anies ini  bukan tipikal pekerja seperti ketiganya. Kualitasnya dengan mudah terbaca dan itu menjadi kendala yang cukup besar. Sama sekali tidak ada kebaikan progresif sebagaimana ketiga pendahulunya itu, dan ia tenang-tenang saja.

Ketiga, capaian di Jakarta bukan maju, kalau terlalu kasar mundur, minimal tidak ada perubahan. Malah hanya soal uang, anggaran, dan pembicaraan kisaran proyek yang tidak berdampak banyak bagi masyarakat. Ini jelas point sangat penting.

Keempat, menteri diganti, jelas cacat yang amat, dengan menjadi gubernur pun tidak memberikan bukti prestasi, selain hanya wacana dan silat lidah yang berlebihan. Mungkin masih bisa di era lampau, sepuluh hingga dua puluh tahun lalu. Kalau kini ya habis.

Kelima, permainan politik identitas telah gagal, karena memang mereka tidak memliki rencana cadangan, pilkada DKI 2017 sebagai kecelakaan politik diantisipasi dengan baik untuk pilpres 2019, mosok 2024 malah akan balik lagi ke sana. Kemungkinan sangat kecil.

Keenam, ini hasil kinerja kelompok emosional, malah makin membuka kedok, borok, permainan, dan upaya mereka selama ini yang bak anak ayam kehilangan induk. Mereka kebingungan sendiri dengan apa yang terjadi. Aksi mereka adalah aksi bunuh diri.

Ketujuh, pemerintahan yang sudah tidak memiliki beban, bisa bekerja dengan maksimal, salah satunya membuang ormas, gerakan, kelompok yang selama ini mempermainkan hidup bersama dengan pemaksaan kehendak, menyeragamkan apapun, berbeda itu salah dan harus sama. Itu semua kini membuka tabirnya masing-masing.

Kondisi ini jelas terbaca, kog, mereka memang suka menyusup, namun mereka lemah di dalam memainkan peran di permukaan. Mengapa? Karena mereka suka berebut kekuasaan, maunya semua tampil. Upaya lama, rapi, dan awalnya solid itu menjadi sulit, dan malah berantakan.

Kesaktian waktu yang akan menjawab memang benar adanya, selama ini gerakan fundamentalis demikian digdaya, toh dengan kegagalan pilpres 2019 menguak semua wajah mereka. Eforia pilkada 2017 membawa berkat di balik musibah demokrasi. Mereka merasa bisa melakukan apa saja dan menguasai negeri dengan mudah. Ternyata tidak demikian.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun