Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Gerindra Masuk Kabinet, antara Konsolidasi dan Menjaga Stabilitas

27 Juni 2019   14:01 Diperbarui: 27 Juni 2019   14:17 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kutub yang tercipta dalam pilpres kali ini demikian ekstrem. Sangat bisa dipahami dengan  kontestan yang sama, kondisi yang dibangun lima tahun dengan politik ala waton sulaya, ya  wajar. Itu sudah lewat dan yang penting adalah upaya untuk menjadi satu bangsa lagi.

Salah satu gagasan adalah mengajak Gerindra dalam satu "koalisi". Ide dan gagasan baik dan tidak salah. Bagus juga, namun ada beberapa hal lebih lanjut yang perlu dilihat lebih dalam;

Pertama, kontestasi itu ada menang dan kalah, aneh dan lucu ketika semua terlibat di dalam kemenangan. Politik memang soal kepentingan, namun lucu ketika yang kalah dan menang berkolaborasi menjadi satu. Kurang bijak.

Hal yang sama sebenarnya juga yang dilakukan Golkar, P3, dan PAN periode lalu. Kasihan yang bekerja keras dan mati-matian, termasuk dihujat pada masa sebelumnya. Ini soal dan ranah kepantasan. Dan jelas tidak patut alias tidak pantas.

Kedua, keseimbangan antara eksekutif dan legeslatif bisa njomplang, dan bisa menjadi tidak berjalan semestinya jika demikian. Pengalaman ini sudah terjadi era lampau, ada dua jenis. Satu era Orba yang memang demokrasi abal-abal. Dewan hanya tukang stempel.

Dua, masa SBY periode kedua, dewan dan eksekutif barengan masuk bui karena kedua kubu, baik menteri dan alat kelengkapan dewan satu partai. Ini jelas pengalaman buruk yang tidak patut diulangi lagi.

Pengawasan bisa menjadi mandul jika demikian, meskipun kondisi dan konteks kali ini berbeda, toh perhatian dan kewaspadaan jauh lebih penting. Adanya pengalaman buruk itu tidak usah diulangi lagi, apalagi kondisi politik dan demokrasinya juga masih belum demikian stabil.

Ketiga, pendidikan politik yang selama ini terbangun memberikan dampak buruk, berbeda itu musuh, perbedaan pandangan dianggap lawan lahir batin yang demikian mendalam, hal ini perlu dibenahi terlebih dahulu, sehingga memahami politik itu ya politik, bukan semua hal menjadi lawan dan kutub demikian kaku.

Keempat, apa yang dikatakan elit partai, dalam hal ini Gerindra, sering tidak didengar lapisan bawah hingga akar rumput. Bisa dilihat, bagaimana kini banyak fakta berbicara demikian. Beberapa kejadian antara elit dan menengah ke bawah berbeda. Jangan ada aksi, toh aksi juga jalan terus.

Kelima, ini bukan semata Gerindra, namun ada faksi lain yang ikut bermain dan mengeruhkan suasana. Indikasi dan banyak keyakinan kerusuhan di belahan lain dunia identik di sini. Nah apakah cukup dengan merangkul Gerindra mereka juga jinak? Ini masalah juga yang tidak sesederhana dalam memberikan jabatan eksekutif.

Keenam, ada pula kelompok lain yang merasa mampat pintu dan kran rezekinya menjadi penghambat dan pemanas suasana. Jadi tidak serta merta Prabowo dan Gerindra saja yang menjadi pokok persoalan. Toh Prabowo dan Jokowi baik-baik saja, siapa yang menghambat mereka bertemu? Narasinya seperti apa, itu pun jelas kog, bukan orang Gerindra.

Ketujuh, komunikasi jauh lebih penting dari sekadar jabatan. Komunikasi antarparpol menjadi baik. Ide dan gagasan BPN dan TKN bertemu rutin dalam masa kampanye lalu sejatinya baik, sayang tidak terjadi. Perkubuan menjadi demikian masif dan kaku. Ini yang perlu dicairkan dan itu tidak mudah kog.

Kedelapan,  pertanggungjawaban dan penegakan hukum juga diperlukan. Bagaimana provokator dengan provokasinya selama inilah yang menciptakan kedua kelompok yang demikian kaku, saling ngotot, dan nyolot, kedua kubu sama saja saling balas. Dan itu bukan semata tanggung jawab Jokowi sebagaimana keinginan Faldo Maldini.

Mereka dimintai tanggung jawab sehingga tidak lagi menebarkan fitnah, caci maki dengan seenaknya sendiri. Hal yang sudah dilakukan, namun banyak yang masih berdiri gagah karena berlindung dalam kemasan dan pakaian religius. Hal yang patut digugah untuk menjadi tabiat baru yang lebih baik.

Kesembilan, sebagai sebuah upaya sih baik dan penting, namun banyak jalan dan cara lain untuk menjalin kesatuan lagi. Jauh lebih mendesak adalah literasi di dalam bermedia dan berpolitik. Lihat saja cara media sosial, dan cenderung adalah akun anonim menjul caci maki dan kebencian tanpa disaring lagi.

Jauh lebih penting dari sekadar Prabowo jadi apa atau Zon jadi ini dan itu. Itu nomor sekian, bayangkan saja politik ala Zon, Puyuono ketika menjadi pejabat namu pola pemikiran demikian bisa membangun dengan baik.

Kesepuluh, jangan sampai mesin pembangunan yang sudah laju itu terhambat karena adanya masukan dari pejabat baru  yang bermental kuno dan sukanya antitesis terus. Jangan sampai ini malah menjadi masalah baru.

Tidak ada yang salah juga sih, namun juga tidak salah menjadi "oposisi" yang bermartabat untuk membangun bangsa ini. Gerindra bersama PDI-P 10 tahun bagus kog beroposisi. Salah satu indikasi itu bisa menjadi pemenang  pada papan atas terus. Bandingkan dengan Demokrat jauh lebih konsisten di atas.

Saatnya membangun sebagai satu bangsa. Kalah menang itu terbatas lima tahun kog. Mengapa harus ngotot menang dan memaksa dalam pemerintahan semua.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun