Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zonasi Sekolah, antara Harapan dan Kenyataan

21 Juni 2019   14:09 Diperbarui: 21 Juni 2019   14:14 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cukup ramai dan bagi orang tua yang memiliki anak mau masuk sekolah bisa saja panik. Gagasan, ide, dan rancangan sekian lama bisa pupus sekejap. Sebagai sebuah upaya sih baik-baik saja, boleh dan patut mendapatkan apresiasi.

Salah satu usaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan itu baik, namun apakah menjawab persoalan dan fakta lapangan itu persoalan yang perlu juga dicermati. Bagaimanakah zonasi itu apa cukup menjawab dan menjadi sebentuk solusi, atau malah menjadi masalah baru yang abai menjadi perhatian.

Beberapa hal perlu dilihat secara lebih mendalam.

Pertama, zonasi jelas berkaitan dengan domisili si peserta didik dengan sekolah yang bersangkutan. Baik secara teori, namun apakah demikian adanya?

Masalah bisa timbul karena sekolah itu dulu dibangun tidak berbicara soal zonasi dan kawasan. Kecenderungan asal ada tanah relatif murah, bangun. Ingat dulu belum tertata, dan semua adalah keputusan sepihak atasan, atas nama proyek, tanah yang bisa dibeli murah, atau milik kerabat juga tidak tahu.

Apalagi jika berbicara sekolah-sekolah kuno, bisa saja itu ada bekas bangunan Belanda dan ditempati sebagai sekolah.  Berkaitan dengan ini, sangat mungkin sekolah itu berdekatan, dalam konteks zonasi berarti satu zona. Artinya, susah untuk menjadikan sekolah tersebut bisa memenuhi kuota karena adanya beberapa sekolah yang ada di dalam satu kawasan.

Masih berkaitan dengan ini, biasanya kawasan itu tidak juga ada perkampungan yang padat penduduk, namun malah pusat ekonomi dan perkantoran, artinya, penduduk pun tidak banyak yang ada di daerah tersebut. Biasanya diisi dari luar daerah selama ini. Ingat ini  tata kota dulu tidak ada perencanaan sama sekali.

Kedua, memang ide dan rancangan bagus berkaitan dengan wajib belajar, karena sistem wajib belajar dua belas tahun, berarti bahwa siswa tidak bisa ditolak masuk ke sekolah manapun. Ini dijawab dengan zonasi tersebut. Keberlangsungan pendidikan berjenjang terjadi dengan baik dan pasti.

Ketiga, pemerataan mutu pendidikan, baik dan benar. Masalahnya adalah, guru-guru berkualitas, sudah biasa ditempatkan di sekolah-sekolah favorit juga. Mereka ini memang sejak awal sudah terkondisikan demikian. seleksi murid ketat, guru pilihan, jadi kalau favorit ya tidak salah.

Masalah yang mungkin timbul adalah apa iya guru-guru yang sudah "biasa" berkutat dengan level tinggi ini, tidak kehilangan semangat, atau malah mau tidak didistribusikan ke daerah pinggiran atas nama perbaikan mutu pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan. Ini tidak semudah di atas kertas.

Mengajar anak piihan dengan mengajar anak asal-asalan, anak yang tanpa seleksi itu berbeda lho. Apalagi guru yang sudah cukup senior, bisa kaget dan tentu kaget.  Perlu sosialisasi yang cukup baik dan mendalam.

Keempat, hari-hari ini berseliweran rasan-rasan ibu-ibu bagaimana menjawab anaknya yang sudah berusaha keras mendapatkan target masuk sekolah favorit, buat apa belajar toh pasti masuk sekolah yang tidak perlu diperjuangkan. Ini juga tidak salah, karena sekian puluh tahun biasa berkompetisi model ini. Pendidikan sejatinya tidak demikian.  Namun sudah terlanjur.

Kelima, mengurangi kapitalisasi dunia pendidikan. Jangan heran ketika pendidikan menengah demikian mahal atas nama sekokah favorit. Ini sempat terjadi. Namun dengan sistem zonasi ini pendidikan mahal atas nama favorit bisa tersingkirkan dan terselesaikan dengan sendirinya.

Keenam, memberikan peluang hidup bagi sekolah swasta, yang tidak jarang sudah berjerih lelah dan berpayah-payah di dalam membuka kran pendidikan di era lampau. Mereka bisa mati kutu karena sistem pendidikan yang kacau di masa lalu. Kesempatan untuk bisa eksis kembali karena tidak terkena zonasi.

Ketujuh, karena berbicara mengenai pemerataan pendidikan, berarti zonasi itu tidak berhenti begitu saja. Ada juga perhatian pada kualitas guru. Dulu digembar-gemborkan mengenai kesejahteraan. Toh dengan sertifikasi, terutama yang ASN, kualitas itu belum juga beranjak jauh. Benar bahwa kesejahteraan guru sebanding dengan tenaga kerja yang lain, namun kualitas masih 11 12.

Sistem evaluasi dan promosi degradasi layak diterapkan pada guru, terutama ASN sehingga para guru terpacu untuk meningkatkan kualifikasinya. Selama ini karena sudah ASN, mau baik atau buruk ya sampai usia 60 tahun begitu saja. Yang buruk tidak sedikit, miris yang baik tidak banyak bisa juga terpapar untuk malas-malasan, toh dapatnya sama saja.

Buku dan bacaan penunjang juga penting mendapatkan perhatian. Bagaimana seolah buku terutama LKS itu menjadi seolah kitab suci bagi para murid, guru mengajarkan dari LKS itu dan mirisnya banyak kesalahan fatal. Laporan itu begitu beragam. Menjadi ribut hanya berkaitan dengan fundamentalis-me agama, seksualitas, dan sejenisnya. Kesalahan lain yang tidak terekspose itu juga banyak. Dan selama ini terus saja melaju.

Guru enggan membaca dan susah membuat soal tinggal comot dan LKS dan salah atau benar tidak ada yang peduli lagi. Orang tua di rumah tahu pun kadang enggan mau repot meluruskan.

Bimbingan belajar. Ini juga termasuk biang masalah pendidikan. Orang tua mau bayar mahal untuk bimbel tapi enggan membeayai sekolah. Belum lagi bimbel yang mau mengerjakan tugas siswa sekolah, demi mendapatkan siswa.

Sekolah dan guru yang memiliki pola memisahkan pendidikan yang diujian-nasionalkan dan tidak, ini juga penting, jangan heran moral dan budi pekerti demikian memprihatinkan selama ini. Mengapa? Siswa dituntut nilai untuk UN dan sekolah dengan gagah bisa menghapus mata pelajaran non-UN sepanjang semester akhir sekolah. Memang UN bukan segalanya sekarang, namun produkny sudah bertahun terjadi.

Zonasi baik, namun jangan juga anak peserta didik tidak lagi memiliki tantangan untuk masuk sekolah, karena paradigma sekolah untuk nilai baik bukan kualitas hidup yang lebih baik. Artinya perlu adanya bentuk "kompetisi" lain, selain proses penerimaan siswa baru.

Prosentase zonasi sangat mungkin membantu mengatasi hal ini, namun bahwa pendidikan untuk semua itu yang utama. Jangan sampai sekolah favorit tanpa penduduk setempat dan kemudian warga tidak merasa ikut memiliki. Ini sudah puluhan tahun terjadi.

Motivasi pemerataan pendidikan, jangan lupakan juga seleksi guru dan pendidikan guru yang perlu ditingkatkan. Tahu persis kualitas guru dan sekolah tinggi keguruan itu seberapa, dan itu juga terlibat dalam peningkatan kualifikasi guru.

Jauhkan pula politisasi dari sekolah, termasuk agama dan keinginan pemaksaan aliran tertentu dalam dunia pendidikan. Kepala dinas dan kepala sekolah adalah "upah" sebagai timses kepala daerah juga perlu ditendang jauh-jauh. Jangan harap zonasi menjadi lampu aladin dunia pendidikan.

Menciptakan suasana akademis, suka membaca, gemar berdiskusi, dan kritis terhadap pendapat, gagasan, dan wacana itu juga penting. Jika itu semua sudah ada, jangan khawatir dengan hoax yang merajalela. Termasuk pribadi toleran, tidak menjadi pribadi sumbu pendek itu juga peran pendidikan.

Perubahan itu sudah ada, harapan makin baik perlu diyakini, dan kehendak baik, perlu menjadi panglima, sehingga bisa menjadikan pendidikan lebih baik bukan hanya angan-angan utopis. Keyakinan dan kehendak baik perlu terus digelorakan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun