Keempat, hari-hari ini berseliweran rasan-rasan ibu-ibu bagaimana menjawab anaknya yang sudah berusaha keras mendapatkan target masuk sekolah favorit, buat apa belajar toh pasti masuk sekolah yang tidak perlu diperjuangkan. Ini juga tidak salah, karena sekian puluh tahun biasa berkompetisi model ini. Pendidikan sejatinya tidak demikian. Â Namun sudah terlanjur.
Kelima, mengurangi kapitalisasi dunia pendidikan. Jangan heran ketika pendidikan menengah demikian mahal atas nama sekokah favorit. Ini sempat terjadi. Namun dengan sistem zonasi ini pendidikan mahal atas nama favorit bisa tersingkirkan dan terselesaikan dengan sendirinya.
Keenam, memberikan peluang hidup bagi sekolah swasta, yang tidak jarang sudah berjerih lelah dan berpayah-payah di dalam membuka kran pendidikan di era lampau. Mereka bisa mati kutu karena sistem pendidikan yang kacau di masa lalu. Kesempatan untuk bisa eksis kembali karena tidak terkena zonasi.
Ketujuh, karena berbicara mengenai pemerataan pendidikan, berarti zonasi itu tidak berhenti begitu saja. Ada juga perhatian pada kualitas guru. Dulu digembar-gemborkan mengenai kesejahteraan. Toh dengan sertifikasi, terutama yang ASN, kualitas itu belum juga beranjak jauh. Benar bahwa kesejahteraan guru sebanding dengan tenaga kerja yang lain, namun kualitas masih 11 12.
Sistem evaluasi dan promosi degradasi layak diterapkan pada guru, terutama ASN sehingga para guru terpacu untuk meningkatkan kualifikasinya. Selama ini karena sudah ASN, mau baik atau buruk ya sampai usia 60 tahun begitu saja. Yang buruk tidak sedikit, miris yang baik tidak banyak bisa juga terpapar untuk malas-malasan, toh dapatnya sama saja.
Buku dan bacaan penunjang juga penting mendapatkan perhatian. Bagaimana seolah buku terutama LKS itu menjadi seolah kitab suci bagi para murid, guru mengajarkan dari LKS itu dan mirisnya banyak kesalahan fatal. Laporan itu begitu beragam. Menjadi ribut hanya berkaitan dengan fundamentalis-me agama, seksualitas, dan sejenisnya. Kesalahan lain yang tidak terekspose itu juga banyak. Dan selama ini terus saja melaju.
Guru enggan membaca dan susah membuat soal tinggal comot dan LKS dan salah atau benar tidak ada yang peduli lagi. Orang tua di rumah tahu pun kadang enggan mau repot meluruskan.
Bimbingan belajar. Ini juga termasuk biang masalah pendidikan. Orang tua mau bayar mahal untuk bimbel tapi enggan membeayai sekolah. Belum lagi bimbel yang mau mengerjakan tugas siswa sekolah, demi mendapatkan siswa.
Sekolah dan guru yang memiliki pola memisahkan pendidikan yang diujian-nasionalkan dan tidak, ini juga penting, jangan heran moral dan budi pekerti demikian memprihatinkan selama ini. Mengapa? Siswa dituntut nilai untuk UN dan sekolah dengan gagah bisa menghapus mata pelajaran non-UN sepanjang semester akhir sekolah. Memang UN bukan segalanya sekarang, namun produkny sudah bertahun terjadi.
Zonasi baik, namun jangan juga anak peserta didik tidak lagi memiliki tantangan untuk masuk sekolah, karena paradigma sekolah untuk nilai baik bukan kualitas hidup yang lebih baik. Artinya perlu adanya bentuk "kompetisi" lain, selain proses penerimaan siswa baru.
Prosentase zonasi sangat mungkin membantu mengatasi hal ini, namun bahwa pendidikan untuk semua itu yang utama. Jangan sampai sekolah favorit tanpa penduduk setempat dan kemudian warga tidak merasa ikut memiliki. Ini sudah puluhan tahun terjadi.