Melihat beberapa langkah dan pilihan Anies Baswedan sejak menang kontestasi 2017 kog semakin aneh, tidak jelas, dan  bermain sendirian, di antara kepungan koalisi yang bermain berbeda. Seperti anak kampung yang bermain layangan padahal musimnya main kelereng. Ya main, tapi berbeda dan akan sepi dari peminat.
Paling heboh dan fenomenal jelas pilihannya untuk memainkan politik mayat dengan mengusung keranda. Ingat ini bukan soal ketidakprihatinan pada korban, namun bagaimana si korban sampai meninggal itu juga penting. Bandingkan ketika Ibu Ani wafat, bagaimana sikapnya.
Tidak heran ketika ada sebuah lelucon, ketika satpam penjaga rumahnya mengusir dan melumpuhkan maling rumah dicuekin dan malah merawat si maling dan mengendong maling yang mati karena dilumpuhkan si satpam. Apakah lelucon ini salah? Jelas tidak.
Oposisi dan gubernur serasa presiden
Berkali ulang Anies berlagak presiden dan "membantah" kata pemerintah  pusat. Hal yang sangat wajar ketika berbicara mengenai kebersamaan dengan Gerindra dan PKS. Lha nyatanya kini dia bukan siapa-siapa bagi kedua partai. Labrak sana tabrak sini atas program nasional yang cukup dijawab wacana pemindahan ibukota membuatnya mati kutu.
Dia tidak cukup amunisi "melawan" pusat tanpa kedua parol pengusungnya. Minimal ia akan babak belur di dewan, apalagi dewan baru nanti. Hal ini patut disadari Anies kalau tidak mau mati konyol dengan sikap dan pilihannya.
Program dan kinerja asal beda dengan Ahok
Jelas kelihatan populis bagi pihak tertentu. Apakah itu cukup membantu bagi dia untuk ke depan, 22 atau 24 lebih tinggi. Ini juga lebih  jelas akan dibahas poin berikutnya. Soal kinerja kelihatan jauh mundur ke belakang, tanpa perlu membandingkan dengan kinerja ketiga bubernur sebelumnya. Nasih Anies ketika ia menggantikan tiga gubernur sukses besar. Susah juga karena diwarnai politik identitas dan asal bukan sehingga langkahnya malah kacau dan tidak karuan.
Autopilot lagi yang bagi beberapa pihak memang enak, namun ingat ke depan bangsa ini menjadi bangsa modern, tidak lagi memberi tempat bagi birokrat malah, warga tidak tertib aturan, dan sistem kuno yang dipilih Anies kali ini.
Jelas soal banjir dan kesemrawutan banyak tempat, Tanah Abang, Monas, dan kekacauan lain,  media banyak menyajikan data ini. bisa dicek sendiri,  bukan bahasan untuk itu, hanya sebuah poin faktual semata, karena pilihannya yang demikian. Memilih berbeda namun  tidak memiliki gagasan besar.
Pilpres DKI memenangkan Jokowi-Amien
Pilihan ini harusnya memberikan perhatian bagi Anies di mana ia sebagai representasi Prabowo-Sandi dan cara berpolitik dan pilihannya tidak disukai bahkan warga Jakarta sekalipun. Ini  termasuk politik identitas, selain prestasi Anies yang mandeg kalau tidak lebih kasar malah mundur lagi.  Apalagi kembali posisi Anies yang tanpa partai dan susah mendapatkan partai dengan pola yang ia tampilkan selama ini.
Jika Jakarta menang Prabowo-Sandi, kinerja dia yang jeblok masih lumayan tertolong. Ini sudah jatuh tertimpa tangga, jangan dianggap sepele. Eh malah makin ke sini makin parah.
Boleh disimpulkan pula kalau  politik identitas mulai berkurang dan tidak laku karena pilres siapa yang memenangkan di DKI Jakarta, namun pilihan Anies dengan mengunjungi, menyantuni, dan memberikan angin pada perusuh, ditambah soal takbir keliling arah Anies jelas. Ini bukan soal agama kog, soal politisasi semata.
Posisi Wakil Gubernur dan posisi Anies
Anies ini sendirian dalam banyak hal. Parpol pengusung hanya memanfaatkan ia mantan menteri Jokowi itu saja. Namun baik Gerindra atau PKS tidak memiliki ikatan yang bisa membuatnya mati-matian untuk membantu atau mempertahankan. Jadi apapun yang dilakukan saat ini cenderung pilihan pribadi dan sangat mungkin didepak oleh parpol.
Politik ala Anies yang tidak bisa dipercaya membuat posisinya sangat riskan. Seolah memelihara ular bagi parpol. Tidak heran ia juga tidak berdaya soal wakilnya. Jelas ia tidak rugi, namun daerah dan warga yang rugi karena kinerjanya makin tidak karuan.
" Mengirim" Bambang untuk menjadi tim Prab-San jelas upaya untuk menarik simpati koalisinya, menjaga posisi tetap bisa ada di dalam tangannya.
Apa yang dilakukan Anies selama ini demi memenuhi hasratnya pribadi. Ini tentu perhatian bagi partai sebagai kendaraan untuk menjadi kepala daerah ataupun presiden. Gerindra jelas tidak peduli dengan keberadaan Anies. PKS pun setali tiga uang, ia bukan kader ataupun tokoh di sana, dan tidak mudah bagi PKs mengambil orang luar tidak bisa dipegang ekornya lagi.
Langkah Anies yang bermain asyik dengan dirinya ini malah justru menjadi blundernya sendiri. Partai jelas menjaga jarak dan hati-hati mengusung orang demikian.Pun organisasi massa tidak cukup memberikan dampak politis. Mungkin nyaman bagi Anies untuk menyenangkan beberapa pihak, namun secara politik, kendaraan untuk pilkada atau pilpres makin tipis.
Kecenderungan politik identitas makin luntur. Eh pengalaman sukses tidak sengaja itu seolah menjadi kebanggaan dan prestasi pribadi Anies dan tetap dikenakan. Syukur bahwa orang model demikian melangkah dengan kesalahan demi kesalahan, DKI saja menjadi korban, dan tidak untuk periode mendatang, serta bukan negara yang lebih luas.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H