Penangkapan Lieus Sungkharisma Pembuktian Banyak Hal
Siang ini ada pemberitaan tentang penangkapan salah satu tokoh penting koalisi 02. Salah satu yang masih tersisa, usai dua kali mangkir panggilan, akhirnya ditangkap penegak hukum. Berbagai bantahan, pertahanan diri, dan upaya merasa tidak bersalah diucapkan sebagaimana video yang ramai saat ini.
Beberapa hal yang terbukti adalah sebagai berikut:
Pertama jelas karena LS bukan ulama, bukan pula Islam, berarti  label Jokowi dan pemerintah antiislam dan pelaku kriminalisasi ulama tidak terbukti. Nyatanya LS pun ditangkap karena ujaran makar dan ajakan untuk people power. Panggilan sesuai prosedur tidak diindahkan, dan akhirnya ditangkap.
Kedua, tudingan penangkapan hanya karena beda kubu. Toh Zulhas juga beda kubu masih bisa buka bersama. Pun Fahri Hamzah yang selalu ngotot menjelek-jelekan pemerintah masih bisa buka bersama Jokowi. Apa yang dinyatakan dan dilakukan memang melanggar hukum, bukan menghina pribadi presiden  misalnya.
Ketiga, tudingan Jokowi antek aseng, komunis, China, dan sejenisnya, ternyata malah ada pada kubu penuding yang berperilaku potensi makar. Tentu bukan antiras atau suku tertentu, mengapa kubu ini, ketika dengan Ahok demikian galak, garang, dan seolah musuh yang bahkan kata bunuh dengan mudah terlontar. Apakah kesamaan ide, cita-cita, dan gagasan kemudian dianggap sekutu dan melupakan yang biasanya menjadi masalah itu?
Jelas bukan antiras dan perbedaan, namun konsistensinya selama ini ke mana? Intinya bukan soal ras atau siapanya, namun konsistensi sikap dan perilakunya. Sama sekali berbeda, kalau untung adalah kawan, menghalangi atau merugikan lawan yang patut disikat.
Keempat, berkaitan dengan point tiga juga, katanya hasil dari ulama, ternyata ada LS juga di sana. Ulama apanya dan ulama dari mananya. Pemakaian isu sektarian dan primordial, namun mereka sendiri bersama-sama, namun menuding pihak lain yang memainkan itu. Lagi-lagi ini bukan soal memainkan isu SARA namun konsekuesi logis atas kebiasaan mereka selama ini.
Patut dipertanyakan model berpolitik mereka yang hanya keuntungan semata abai apapun yang dilakukan. Bertolakbelakang pun bukan menjadi pertimbangan asal mendapatkan keuntungan.
Kelima, penegakan hukum tidak pandang bulu. Siapapun melanggar hukum, ada bukti dibawa ke meja hijau. Siapa yang benar adalah hak hakim. Jangan menuding bahwa polisi berlaku sewenang-wenang, dan pasti tersangka juga salah. Belum sepenuhnya benar. Hakim dan pengadilan yang memutuskan.
Keenam, pembiaran terlalu lama orang bisa berlaku seenaknya sendiri. Ketika penegakan hukum, pemerintah dan Jokowi yang menjadi sasaran kemarahan dan tuduhan tidak menyenangkan. Pertanyaan kemudian, memang UU dan KUHP soal makar, definisi makar itu buatan Jokowi dan rezim ini tiba-tiba membuat dan melaksanakannya begitu?
Tidak, undang-undangnya sudah ada, karena selama ini banyak pejabat takut tidak terkenal, khawatir menyiptakan musuh, akhirnya dibiarkan demikian saja. Panen saat ini, pembangunan kharater terhambat. Kebebasan ditafsirkan berperilaku semaunya sendiri. Ingat kebebasan itu juga perlu menenggang kebebasan pihak lain.
Ketujuh, mereka tahu kog, memang bukan secara khusus LS, namun ada ES yang mengatakan ia sebagai pengacara kebal tidak bisa tersangka. Artinya ia tahu salah, merasa pengacara ia tidak bisa diajukan ke pengadilan. Pun Permadi, mengaku usia 80 dan menderita stroke, lha ketika berapi-api meminta orang berkelahi dan beraksi brutal kog lupa kalau sudah sepuh, dan menderita stroke?Â
Kedelapan, kisah terulang dari Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Eggy Sudjana, Kivlan kemarin, akan dapat dipastikan LS ini akan sendirian saja. Bungkam seribu bahasa dan tidak lagi mau mengenal mereka, kubu BPN dan koalisi 02.
Kesembilan, para pemain politik yang tertangkap dan lari, kebanyakan bukan politikus. Mereka mau berpolitik harusnya tahu politik dengan baik, sehingga tidak terjerat hukum. Mengapa? Para pelaku politik yang dibela mati-matian bebas dan melenggang ke mana-mana, malah bisa juga menjadi pejabat publik.
Kesepuluh, politik itu seni, permainan, dan kadang juga hiburan. Mengapa harus demikian serius, tegang, dan malah menimbulkan perpecahan dan merugikan diri sendiri seperti  itu. Semua terjadi karena abai seni dalam berpolitik, termasuk seni berkelit.
Lihat  Adian Napitupullu dan Desmond J Mahesa. Mereka ada pada kubu yang berlawanan, rival besar, karena berangkat dari aktivis 98 yang sama, mereka dalam kondisi seperti ini bisa berpelukan dan makan bareng. Politik  yang berbeda dalam pandangan dan pilihan, namun bukan kemudian bak babi buta dan semua beda dan bahkan musuh. Politik itu permainan kata Desmond.
Kesebelas, potensi rusuh nanti saat pengumuman presiden terpilih, potensi kisruh makin kecil. Â Mengapa? Provokasi dari para provokator ini tidak lagi segarang jika belum ditangani polisi. Bagaimana Kivlan Zen yang demikian ngotot bisa berubah usai diperiksa sekian jam. Pun Amien soal Ratna dulu pun jadi memuji-muji polisi.
Politik itu permainan, mengapa sampai melukai dan merusak? Santai saja dalam berpolitik, jaga diri dan rekan itu menjadi penting. Keren penegak hukum, jangan takut selama konstitusi menjadi landasan, apa kata pelanggar hukum, tidak lagi penting.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H