Bui ES, BN di Arab, Cekal Sehari KZ, Hukum - Politik Campur Aduk
Berita usai pemilu makin panas dan liar ke mana-mana. Demokrasi yang masih dibangun para pelaku yang tidak siap kalah malah merembet ke mana-mana. Â Intinya yang terjadi dan demikian panas saat ini adalah tidak mau menerima kekalahan. Â Ketidakmaukalahan itu dikemas dengan berbabagai-bagai cara.
Ada yang idenya pengerahan massa, menebarkan ancaman, memberikan berita  sepenggal-sepenggal, dan ada pula yang mengaitkan perilaku jahat dan kriminal sebagai pemberangusan kebebasan pendapat. Atau membenturkan dengan berdalih kriminalisasi atau antiagama tertentu.
Ada beberapa kisah yang terjadi dalam pekan-pekan terakhir, semuanya kog berkaitan dengan hukum, dan tahap penyelesaiannya beragam. Pagi tadi Eggy Sujana yang diperiksa sebagai tersangka makar tidak boleh pulang, alias langsung ditangkap. Penahanan untuk 1 x 24 jam. Pertimbangan polisi tentu kuat dan tidak akan gegabah.
Kivlan Zen yang bersama-sama dengan ES dalam aksi terakhir, mendapatkan surat panggilan ketika  sudah ada di bandara, akan terbang ke luar negeri. Ia pulang dan menjalani pemeriksaan soal pernyataan dan aksinya. Ada yang cukup membuat ribet, surat cekalnya telah dibatalkan. Pertimbangan juga jelas sudah dihitung dan dicermati oleh kepolisian.
BN yang merupakan tersangka dalam kasus yang lain, namun dalam gerbong yang sama, pemeriksaan pun dalam waktu yang relatif dekat, ternyata menolak datang karena sedang ada di Arab Saudi. Pengacaranya meminta ada penangguhan pemeriksaan atau penjadwalan ulang atas panggilan kepolisian.
Ada tiga kisah yang hampir bersamaan, namun ada pula tiga cerita yang cukup berbeda, mengapa?
Tertib hukum masih susah ditegakkan karena campur aduknya berbagai-bagai kepentingan, dan itu menyusahkan siapapun pemimpinnya. Paling tidak ada tiga hal yang biasanya menjadi bahan perlindungan, politik, identitas atau agama, dan kebebasan berdemokrasi.
Kebebasan berdemokrasi telah  menjadi andalan, usai reformasi 98 yang ternyata hingga kini masih belum cukup berdampak, kecuali kebebasan yang kebablasan. Kebebasan untuk mengatakan apa saja jelas harus bertangggung jawab. Tidak kog kemudian bisa mengatakan apa saja tanpa mau bertanggung jawab ketika ada yang keberatan, dan merasa tersinggung.
Dalih yang cukup mempan sekian lama itu, ternyata disukai politikus yang lagi-lagi enggan bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Dibarengi oleh perilaku tamak kekuasaan, dan tidak mau kalah. Esensi demokrasi selain kebebasan juga adalah keberanian kalah dalam berkompetisi. Lha bagaimana seperti anak TK yang ngambeg kalau temannya yang menang lomba mewarnai, dan biar tidak kisruh ada piala pura-pura.
Komoditas agama atau identitas lainnya sangat manjur. Banyak orang yang dulu takut dicap PKI kini takut dicap penistaan agama, terutama untuk mendapatkan label menghina Islam dan ulama. Padahal kadang yang dikatakan itu benar, namun karena ada yang tersinggung dan kemudian menggunakan kekuatan massa dan banyaknya kelompok yang segagasan, jadilah urusan berkepanjangan.
Kelompok ini cukup banyak, bukan hanya pribadi, namun ada juga ormas yang gemar menggunakan dalih ini. Ketika terpojok atas perilaku kriminalinya, akan ngompor-ngompiri pihak lain sebagai pelaku kejahatan pada agama. Penggunaan label dan kesamaan pakaian ini sangat berguna dalam beberapa tahun terakhir ini, ketika mau ditegakkan ya sudah, banyak yang ngamuk dan enggan dibetulkan.
Politik dan kepentingannya. Ini lebih susah lagi karena hukum itu jelas dan pasti, sedangkan politik itu abu-abu. Kepentingan politik sekian lama menjadi panglima kini kena batunya. Orang sudah terbiasa memakai kedok politik dalam berbagai-bagai kepentingan pribadi.
Saling sandera dalam posisi elit sangat menghambat banyak hal. Apalagi jika sudah politisasi agama juga masuk di sana. Repot dan ribet, memfitnah namun merasa itu kehendak Tuhan dan banyak dukungan politik di sana. Risiko hitung-hitungan politik menjadi masalah.
Jangan salah semata hitungan politik, ada juga risiko adanya aksi dan reaksi yang bisa memecah-belah bangsa, ingat masih campuraduknya kepentingan dan banyak hal saling silang tidak jelas. Â Waktu terakhir sudah semakin banyak harapan baik dibangun dan dijalankan.
Kesadaran bersama membedakan antara perilaku dan asal-usul, sebagaimana pernyataan Hendropriyono soal keturunan Arab. Dukungan positif jauh lebih banyak dan tidak menjadikan sentimen negatif berlebihan. Sudah mulai nalar, meskipun mau dicoba-coba benturkan, ingat soal kepentingan  politik juga.
Tim hukum nasional bentukan Wiranto, ini juga penting karena selama ini elit begitu leluasanya mengatakan ini dan itu serta berdalih sebagaimana di atas. Tim yang terdiri atas berbagai pihak yang berkompeten, tentu tidak akan asal-asalan, dan juga cenderung lebih bisa dipercaya daripada hanya satu dua pihak yang cenderung mudah kalah dengan keadaan, baik kekuasaan atau kekuatan gerudugan. Harapan ini jangan sia-sia karena ulah banyak pihak yang mau berlindung dari kebiasaan lama.
Presiden mengatakan sudah tidak ada beban lima tahun ke depan. Hal yang jelas sangat baik bagi tumbung kembang demokrasi yang bermartabat, bukan malah penuh hujat tidak bermanfaat. Sebenarnya hal yang memalukan sebagai bangsa besar harus berkata demikian.
Sikap tanggung jawab perlu ditekankan terutama pada elit. Yang kecil-kecil, tidak punya jaringan, koneksi, apalagi kemampuan untuk berkelit sudah banyak masuk bui, jangan enak-enak bicara dan lepas tanggung jawab. Kalianlah yang menularkan virus itu, dan siaplah bersama kroco yang sudah masuk duluan.
Demokrasi itu siap kalah, jangan ada dalam kamus demokrasi kog kudu, pokoke, harus menang, tidak ada istilah kalah, ndhasmu, kata Prabowo. Hal yang perlu dipelajari dan dicamkan oleh elit negeri ini. Â Sikap sederhana yang tidak dimiliki justru oleh elit.
Demokrasi juga ada periodisasi, siapkan pertarungan untuk lima tahunan, jangan hanya maunya jatuh di setiap saat, pas kontes aslinya tidak siap, membentuk berbagai-bagai opini menyesatkan. Kalau mau jujur, mereka tahu kog Prabowo kalah dan Jokowi menang. Hanya karena malu bahwa mereka malas selama ini berupaya mendapatkan  kemungkinan sekecil apapun. Masih ditingkahi banyaknya kepentingan yang bertautan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H