Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tim Hukum Nasional Bentukan Wiranto dan Perilaku Ugal-ugalan

12 Mei 2019   08:41 Diperbarui: 12 Mei 2019   09:15 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tim Hukum Nasional dan Perilaku Ugal-ugalan atas Nama Kebebasan Berpendapat

Kebebasan berpendapat memang mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan UU di negara demokrasi. Hal yang patut diingat dan di-ugemi adalah, bahwa kebebasan dan UU atau peraturan dibuat adalah untuk menjamin kekebasan itu tidak melanggar kebebasan pihak lain.

Bayangkan saja kalau orang sableng mengaku dan menglaim kebebasan berpendapat kemudian menyatakan hal yang melanggar kebebasan pihak lain. contoh konkret mengatakan pemerintah menumpuk hutang dan bisa membahayakan keberadaan negara. 

Ini benar satu sisi, namun sisi lain juga hak berpendapat pemerintah untuk menyatakan bahwa kondisi berbahaya itu tidak sedemikian gawatnya. Ini masih normatif dan umum.

Coba bayangkan jika menyebut nama, kemudian disematkan kata idiot, plonga-plongo, pelanggar hukum, pemimpin otoriter, ingat menyebut nama lho, berarti sudah memberikan cap, label, dan penilaian pada pribadi itu, yang memiliki jabatan presiden misalnya. Jauh berbeda jika presiden berpotensi melanggar hukum karena bla...bla.... Ini jelas memang dilindungi hukum atas kebebasan berpendapat.

Tim hukum nasional ini juga menjadi tim yang menjamin keberadaan, kebebasan, dan posisi pejabat negara, sehingga orang yang melakukan kritik itu benar, tidak asal bicara, dan kemudian melakukan nyinyir-an, yang kemudian berdalih sebagai kebebasan berpendapat dan berkumpul.

Benar bahwa kita sedang bereuforia atas kebebasan yang sekian puluh tahun terkekang, namun bukan berarti kemudian bisa seenaknya sendiri berbuat dan kemudian mengingkari.

Selama ini, orang bisa bebas, kadang seenaknya sendiri mengatakan ini dan itu bagi pejabat, orang yang tidak disukai dengan begitu saja. Ketika dituntut penegakan hukum akan melarikan diri, berdalih atas nama kebebasan berpendapat, kalau kepepet mengatakan minta maaf dan khilaf, lucunya satunya demokrasi, sisi lain akan memakai dalil agama, memaafkan adalah ciri orang beriman. Sikap lagi-lagi munafik.

Sikap terhadap tim hukum nasional ini;

Dalam beberapa hal patut diapresiasi, karena dampak atas polarisasi politik campur aduk agama telah demikian masif terutama akhir-akhir ini. Keberanian menghentikan dengan segala risiko harus diambil. 

Contoh konkret salah satunya adalah pernyataan Hendropriyono yang mengatakan keturuan Arab jangan buat ribut. Karena kebetulan banyak aksi dari warga keturunan Arab yang reseh, cukup itu, bukan dikaitkan dengan agama. Tidak ada kaitan dengan agama. Harus berani.

Kemarin ada kiriman video di mana Kapolri Jenderal Tito berharap bahwa kelompok kecil yang selama ini diam saja bersikap jika penegak hukum bertindak, ada sebuah dukungan moral untuk itu. Jadi ada  harapan juga bahwa kelompok yang selama ini seolah "ketakutan" itu perlu juga bersuara, minimal mengatakan dukungan atas upaya penegakan hukum.

Kebiasaan selama ini adalah, ketika terbentur pada kasus hukum perilaku yang biasanya ugal-ugalan itu ada beberapa sikap.

Ada yang menggunakan kekuasaan atau kekuatan. Kelompok dan orang yang memiliki massa atau afiliasi massa banyak. Tidak perlu disebut siapa mereka, toh sangat mudah menemukannya contohnya. Orang dan kelompok ini bisa melakukan apa saja, yang benar bisa salah, yang salah menjadi benar dengan memanfaatkan tekanan massa yang mampu dimobilisasi. 

Penegakan hukum pun bisa terkendala dan menjadi bias. Saatnya dihentikan dan hukum menjadi panglima. Negara hukum dan demokratis, jangan dihidupi dengan preman jalanan dan adu otot atau ngotot saja.

Menuding pihak lain sebagai pelaku yang sama buruk atau lebih buruk. Perilaku mencari kambing hitam ini jelas memperlihatkan kualitas pribadi kerdil. Sikap memalukan dan memuakan ketika berteriak-teriak paling saleh dan suci namun bertanggung jawab atas pernyataannya saja nol besar. Perilaku memalukan sebagai sebuah bangsa besar, religius, dan berpancasila sebenarnya.

Ketika sudah mentok, andalannya adalah maaf, khilaf, dan bicara ranah spiritual.  Hal lucu dan bahkan munafik, ketika tahu itu salah kemudian minta maaf, namun mengulanginya lain waktu, paling menjengkelkan lagi adalah malah kotbah dan memberikan dalil-dalil sok suci lainnya. Tidak usah   berdalil dengan kalimat Kitab Suci, namun bersikaplah ksatria dan beranggung jawab.

Apakah hal ini melanggar kebebasan HAM, lihat konteks dulu, jadi jangan berbicara HAM dengan juga melanggar HAM. Bahwa potensi dimanfaatkan untuk menciptakan pemerintahan otoriter dan antikritik sangat mungkin. Namun ingat bahwa ini tim, bukan hanya satu orang, satu kelompk, militer misalnya. Terdiri atas banyak ragam latar belakang jadi masih bisa diharapkan nilai obyektif dan netralitasnya.

Pembiaraan selama ini, apalagi ada pemimpin yang mengatakan satu musuh terlalu banyak dan kemudian membiarkan orang berbicara seenak udelnya, ya patut panen ketika kondisi perpolitikan panas dan upaya memaksakan kehendak  itu marak. Keberanian membuat tim  hukum ini bagus, namun perlu pengawalan yang lebih lagi agar berjalan sesuai dengan koridor.

Kerja perlu dimulai, jangan lagi tunggu semakin banyak orang seenaknya berlaku ugal-ugalan. Kivlan Zen nampaknya mulai menjadi yang pertama, jangan kemudian mengaku khilaf apalagi nangis merengek seperti anak kecil minta permen. Presiden sudah mengatakan tidak akan lagi ada beban, demi bangsa dan negara yang lebih baik, apapun akan dilakukan.

Pembangunan infrastruktur sudah dikebut, kini pembangunan jiwa manusianya.  Salah satu adalah sikap bertanggung jawab. Bagaimana mempertanggungjawabkan pernyataan dan perkataan jangan seperti orang berak. Inilah revolusi mental, jangan nanti menangis dan merengek ketika ditangkap polisi karena berbicara tanpa dasar dan tanpa alasan yang jelas.

Selama ini elit banyak yang lolos karena menyandera pemilu, kelas coro dan teri banyak yang sudah masuk bui, kini level kakap dan komodo perlu merasakan hal yang sama. Saatnya perang melawan kejahatan para munafik, bukan hanya berkoar-koar tidak jelas.

Saatnya bekerja Tim Hukum, jangan hanya jadi wacana dan hanya berdebat antara ya dan tidak, sudah sangat kritis keadaan elit berlaku ugal-ugalan. Perlu ditata untuk menjadi bangsa bermartabat, mau bertanggung jawab itu sikap kstria, bukan munafik yang menggejala.

Saatnya tekanan massa atau viral-nya di dunia media sosial bukan yang utama. Tim hukum harus mengambi alih, dan pada saatnya nanti polisi bisa menjadi penegak hukum handal  yang tidak lagi perlu media sosial sebagai jalan dan keberadaan tim hukum juga selesai.

Harapan baik demi revolusi mental perlu dukungan cukup. Sikap kritis juga penting, namun jangan melanggar hukum atau main fitnah dan berlaku seenaknya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun