Apa yang terjadi paling panas akhir-akhir ini adalah ciutan RR mengenai Letkol AD, yang menghampirinya di pusat perbelanjaan. Warta yang dinyatakan katanya Prabowo sudah menang, dan itu menjadi bahan bagi RR berbicara. KSAD sebagai atasan Letkol AD itu bereaksi untuk mencari siapa orangnya.
KSAD benar bahwa itu adalah institusi  di mana ia adalah kepala tertingginya untuk mengusut. Soal RR sebagai sipil bukan ranahnya untuk memanggil sekalipun. Cukup lucu dan aneh malah RR yang mengatakan panggil saja saya, jangan cari si Letkol. Lha apa kaitan KSAD dengan pecatan menteri ini? Pencarian ke  bawahan menjadi lebih tepat dan penting, karena menyatakan dengan terbuka AD.
Apapun kata si AD itu, mau Prabowo menang atau kalah, mau benar atau salah, jelas tidak tepat, karena AD adalah lembaga netral yang tidak sepatutnya berpolitik praktis seperti ini. Ranah ini  yang menguatkan dan menjadi pembenar jika Jenderal Andika mau menelusuri dengan tepat dan cermat.  Lebih menjadi persoalan lagi jika berita itu salah, di mana Prabowo kalah dan itu bisa menjadi masalah berkepanjangan.
Beberapa hal kog nampaknya identik dengan kisah RS, di mana apa yang terjadi itu detail, sudah ada perencanaan dan antisipasi, bukan settingan lho ya, jika iya bisa dikatakan menuduh.
Setting, atau latar tempat kejadian. Ingat bahwa RS mengatakan di bandara Bandung, malam, ada orang cepak  melakukan penganiayaan. Ada tempat, pelaku, waktu, dan jelas isinya peristiwa itu. Di sini RR juga mengatakan ada di pusat perbelanjaan, ada bapak dan ibu, yang diperjelas kemudian Letkol AD.
Apa yang dinyatakan itu mau menggambarkan faktual namun malah kedodoran. Dalam kisah RS jelas ternyata penerbangan malam di Bandung dari Jakarta tidak ada. Padahal maunya adalah detail peristiwa untuk meyakinkan publik.
Dalam peristiwa RR ini mengatakan Letkol AD, sebelumnya tidak kenal, apakah orang berseragam, namun apa iya orang berseragam militer, di pusat perbelanjaan berbicara seperti itu? Justru lebih elegan dan tidak terlalu lucu, jika itu di meja restoran, jadi lebih sempit bukan lagi seramai dan seterbuka pusat perbelanjaan.
Melibatkan orang bermbut cepak dalam kisah RS, dan mau membuat keadaan genting, bahwa keamanan menyedihkan. Ramai-ramai mau menemui Kapolri dan ketika diusut ternyata hanya kebohongan semata.
Kini kisah ini juga, menyebut perwira menengah angkatan darat, eh ketika mau dicari si perwira, yang mengatakan itu tidak usah, biar RR saja yang bertanggung jawab. Ya tidak bisa KSAD tidak berwenang mengurus sipil. Pertanggungjawaban tidak bisa diambil laih.
Masalah pengusutan TNI AD bukan soal isi yang disampaikan, namun apa keweangan dan pertanggungjawaban sebagai prajurit. Lucu dan aneh karena menyangkut pangkat dan lembaga, berbeda jika mengatakan Bapak A mengatakan kepada saya telah menang Prabowo, dan perlu disuarakan. Itu sah-sah saja, tidak ada masalah, dan sangat wajar.
Menyebut institusi, menyebut pangkat dengan gamblang, dan apa yang disampaikan sangat bisa berpotensi menjadi masalah. Mengatakan Jokowi menang, sebagaimana hitung cepat saja bisa diusut dan menjadi masalah. Â Militer itu tidak berpolitik praktis itu kuncinya, bukan soal Prabowo menang yang utama.
Prabowo menang atau kalah bukan kewenangan si perwira. Apalagi jika malah kalah betulan dan itu menjadi dalih atau alasan untuk menjadikan itu sebagai bukti adanya kecurangan. Narasi yang dibangun itu yang menambah potensi masalah.
Jika benar ada perwira demikian sangat bagus gerak cepat KSAD untuk mencari si prajurit. Namun jika tidak ada, pelaporan pada polisi sangat baik untuk membuat negara in menjadi lebih baik dan taat hukum. Ingat ini bukan soal Prabowo menang atau kalah, namun soal bagaimana pertanggungjawaban perbuatan, ucapan, dan juga bermedia sosial tentunya.
Percaya RR atau KSAD?
Apa yang ditakan RR identik dengan RS, susah diyakini potensi kebenarannya, karena beberapa hal berikut;
Narasi besar yang dikembangkan adalah pemerintah gagal menyelenggarakan pemilu baik. Pemerintah sebagai sasaran, karena adanya Jokowi di sana. Padahal KPU bukan bagian pemerintah. Toh tetap saja didengung-dengungkan.
Mau membenturkan aparat dalam hal ini TNI-Polri yang sangat solid mendukung terciptanya pemilu damai dan pemilihan presiden ini berjalan lancar. Pengungkapan lembaga ada indikasi kesengajaan tentunya. Â Upaya ini jauh hari sudah dilakukan dan kebetulan kog kelompok yang sama. Ada kisah anggota dewan di Sumut yang sengaja melakukan itu. Jelas ini bagian dari narasi itu.
Jika ini dibawa ke ranah hukum, dan memang sebaiknya demikian, akan lahir dan hampir mungkin bisa dipastikan tudingan kriminalisasi, pembungkaman kebebasan berbicara, dan sejenisnya. Padahal ini menjadi penting sehingga orang bisa berbicara secara bertanggung jawab.
Kebebasan tentunya bukan melanggar hukum. Contohnya mengatakan eh orang itu maling tuh, tangkap saja, tetapi sama sekali tidak ada bukti. Itu pelanggaran hukum. Bedakan mana kebebasan berpendapat dan mana asal bicara. Jangan jadikan asal bicara kemudian berkedok kebebasan berpendapat. Itu sih waton sulaya.
Potensi kemenangan Prabowo itu minim. Susah membuktikan bahwa berita kemenangan dari mereka, dan pihak lain, dalam hal ini Jokowi curang juga sangat kecil. Semua data dan fakta dengan mudah dipatahkan kog.
Indikasi lain dari itu adalah, saling bertolak belakang, satu sama lain apa yang mereka kemukakan. Tidak percaya KPU dan hasilnya, namun kog mendaftar dan taat  jadwal KPU. Mengapa kalau tidak percaya tidak sejak awal, hanya pada ujung yang hasilnya tidak sesuai dengan harapan saja.
Kebersamaan koalisi juga kacau dengan pendapat masing-masing. Lebih aman dan nyaman dengan hasil sendiri lebih kuat. Ya jelas karena mereka dapat sesuatu daripada ribut rebutan pepesan kosong. Mana ada pemenang  rebutan sendiri.
Klaim kemenangan yang aneh dan lucu, dari 50-an menjadi 62 dan menjadi 80%, dan itu jelas fakta yang sangat mustahil, SBY yang banyak "prestasi" saja hanya 60-an%, incumben lagi, ini penantang omong kosong melawan incumben sarat capaian mosok bisa demikian telak. Memang dalam konteks tertentu benar. Satu dua tempat.
Apa yang dikerjakan dan dicapai itu ya seperti apa yang dilakukan, lha tidak melakukan apa-apa mosok mau menang banyak. Aneh juga yang sudah kerja keras saja masih ngos-ngosan mengejar dan meyakinkan pemilih.
Akhirnya akan sama juga dengan kisah-kisah yang lain, salah kutip, khilaf, maaf, dan ketika penegakan hukum terjadi menuding, menuduh, dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas. Miris bangsa sebesar ini hidup dalam alam elit yang lemah tanggung jawab. Â Berbicara tanpa fakta dan data, kebenaran dikalahkan demi kepuasan dan keuntungan sesaat dan sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H