Sengkuni itu seorang pangeran aslinya. Anak raja beneran, bukan abal-abal. Karena fisiknya yang nyleneh dan aneh, membuat si bapak yang seorang raja malu. Posisi tersingkirkan dari kakak dan adiknya yang "normal" makin membuat Sengkuni aneh dan nyleneh. Beberapa hal patut dilihat bahwa itu adalah ungkapan, perilaku, dan cara untuk menarik perhatian dan juga membesarkan dirinya  yang minder.
Kreatif. Usaha dan upaya yang ia lakukan sebenarnya kreatif, hanya sayang karena penerimaan bapak dan juga saudara dan rekannya negatif, ia jadi  ugal-ugalan. Sangat wajar karena perasaan disepelekan, direndahkan, bahasa modern di-bully, jadi apa yang dibuat, diciptakan itu cenderung olok-olok dan tidak bermutu.
Ia tidak diajar sebagimana saudaranya, maka ia bisa sendiri dan kadang karena tidak ada dasar ilmu dan motivasinya malah menjadi nyleneh. Apa yang ia lakukan menjadi bencana. Contoh ketika ia membuat istana kebanjiran, membuat kereta berbentuk perahu yang ia bawa ke mana-mana.
Politikus Sengkunian banyak ada bangsa kita, bagaimana kita saksikan, betapa kreatifnya politikus kita. UU begitu banyak, membuat lagi dan lagi hanya demi proyek dan uang sidang, namun pelaksanaan nol besar. Hal yang identik, kelucuan dan keculunan tercipta dengan keanehan saking kreatifnya. Ide membuat perpustakaan, kantor, pusat kesehatan, dan sebagainya pada awal periode lalu.
Kerja nol namun banyak ide dan gagasan yang kalau dipikir lepas dari kinerjanya yang hakiki, namun bangga dengan itu. Riuh rendah pada hal-hal yang tidak mendasar dan demi kepentingan orang banyak. Selucu gagasan Sengkuni dalam membuat ulah agar dilirik bapak dan saudaranya.
Berpengaruh. Pengaruh ini pada konteks tertentu. Ia sebagai pangeran memiliki akses untuk menguasa pengasuh para keponakan. Siapa yang berani melawan adik ibu permaisuri tentunya. Nah di sinilah peran dan pengaruh Sengkuni demikian kuat bagi para Kurawa. Ponakan yang berjumlah 100 itu ada dalam kendalinya. Sama-sama pribadi sakit mereka saling membutuhkan dan saling menguatkan.
Orang buta menuntun orang buta, jadinya semua tersesat bersama. Kerajaan demikian besar menjadi ajang taruhan atas ide Sengkuni. Dan dua kelompok saudara ini saling membenci dan iri, trik dan intrik ala Sengkuni demikian kuat, sehingga perebutan hingga menjadi perang Barata, Baratayuda yang berperang antarsaudara kandung. Lima Pandawa berhadapan dengan 100 Kurawa.
Pengaruh Sengkuni demikian besar bagi Kurawa sehingga mereka jauh lebih mendengarkan Sengkuni daripada guru lain yang sejatinya cukup waras dan bijaksana. Hasutan demi hasutan membuat Kurawa sakit hati dan kemudian bersama Sengkuni mengusir Pandawa.
Politikus Sengkunian era ini, penggunaan media sosial untuk menebarkan ketakutan, kecemasan, sikap saling curiga, hujatan, caci maki, dan fitnah itu adalah khas Sengkuni dan Kurawa yang hanya mengejar kekuasaan namun abai kemampuan dan hak yang semestinya.
Lupa daratan. Permainan dadu yang licik dan culas, di mana Pandawa  yang  berjalan lurus diajak bermain dadu yang merupakan keahlian Kurawa. Jelas saja kalah, belum lagi permainan itu adalah settingan si Sengkuni. Kebiasaan membuat settingan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan ini  lagi-lagi khas Sengkuni.
Lupa daratan karena usai menang mereka membuat ulah untuk menjebak Pandawa. Padahal Pandawa yang sudah tekun dengan setia dalam konsekuensi atas kekalahannya selalu dipermainkan. Pada waktunya mereka ingkar janji.
Politikus Sengkuni  modern tahu bahwa demokrasi itu ada periodenya. Namun setiap saat hanya mau mendongkel dan mengintai kejatuhan si pemenang. Apapun dilakukan untuk mengambil alih kursi kepemimpinan. Dan sejatinya pun mereka tidak mampu sama sekali untuk memimpin.
Kalau mendapatkan kepercayaan untuk memimpin, mereka abai akan tanggung jawab. Karena memang mereka sejak awal tidak siap untuk menjadi pemimpin. Apa yang dilakukan bukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Foya-foya, bagi-bagi proyek, atau kemunduran dalam pemerintahan. Jelas karena ketidaksiapan. Sengkuni tidak pernah menyiapkan Kurawa untuk memimpin, namun berkuasa.
Energi negatif. Apa yang dibawa oleh Sengkuni adalah luka batin. Pencarian kompensasi atas luka itu adalah energi negatif. Nah Kurawa menjadi alat-alatnya yang paling efektif untuk membangun citra dirinya yang terkoyak itu. eksistensi dengan menularkan ilmu ngawur, ugal-ugalan, dan haus kuasa itu adalah energi negatif.
Pendidikan ala Sengkuni itu kepuasan batin atas luka jiwanya, bukan kebaikan secara obyektif, namun apa yang ia yakini sesuai dengan jiwa luka dan kecilnya itu. Ciri itu bisa dilihat, tidak mendengarkan selain kata Sengkuni. Sengkuni rujukan satu-satunya, meskipun salah. Tidak ada yang bisa mempengaruhi Kurawa, karena indoktrinasi demikian kuat oleh Sengkuni.
Politikus Sengkuni abad ini, politikus yang menebarkan kecemasan, perilaku menakuti-nakuti, hanya percaya pada kelompoknya saja, pihak luar adalah ancaman dan akan menyerang. Ini jelas khas Sengkunian. Perilaku kerdil sendiri yang diterakan pada pihak lain yang akan menyerang, pertahanan diri yang berlebihan.
Pihak mereka selalu benar dan pihak lain sebagai pelaku kecurangan dan ketidakadilan. Siapakah yang ada dalam barisan Sengkunian? Toh semua pada paham bukan?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H