Politikus Sengkuni  modern tahu bahwa demokrasi itu ada periodenya. Namun setiap saat hanya mau mendongkel dan mengintai kejatuhan si pemenang. Apapun dilakukan untuk mengambil alih kursi kepemimpinan. Dan sejatinya pun mereka tidak mampu sama sekali untuk memimpin.
Kalau mendapatkan kepercayaan untuk memimpin, mereka abai akan tanggung jawab. Karena memang mereka sejak awal tidak siap untuk menjadi pemimpin. Apa yang dilakukan bukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Foya-foya, bagi-bagi proyek, atau kemunduran dalam pemerintahan. Jelas karena ketidaksiapan. Sengkuni tidak pernah menyiapkan Kurawa untuk memimpin, namun berkuasa.
Energi negatif. Apa yang dibawa oleh Sengkuni adalah luka batin. Pencarian kompensasi atas luka itu adalah energi negatif. Nah Kurawa menjadi alat-alatnya yang paling efektif untuk membangun citra dirinya yang terkoyak itu. eksistensi dengan menularkan ilmu ngawur, ugal-ugalan, dan haus kuasa itu adalah energi negatif.
Pendidikan ala Sengkuni itu kepuasan batin atas luka jiwanya, bukan kebaikan secara obyektif, namun apa yang ia yakini sesuai dengan jiwa luka dan kecilnya itu. Ciri itu bisa dilihat, tidak mendengarkan selain kata Sengkuni. Sengkuni rujukan satu-satunya, meskipun salah. Tidak ada yang bisa mempengaruhi Kurawa, karena indoktrinasi demikian kuat oleh Sengkuni.
Politikus Sengkuni abad ini, politikus yang menebarkan kecemasan, perilaku menakuti-nakuti, hanya percaya pada kelompoknya saja, pihak luar adalah ancaman dan akan menyerang. Ini jelas khas Sengkunian. Perilaku kerdil sendiri yang diterakan pada pihak lain yang akan menyerang, pertahanan diri yang berlebihan.
Pihak mereka selalu benar dan pihak lain sebagai pelaku kecurangan dan ketidakadilan. Siapakah yang ada dalam barisan Sengkunian? Toh semua pada paham bukan?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H