Prabowo Masih Kampanye Parpol dan Pasangan Kocar Kacir
Prabowo masih melakukan kampanye hingga hari ini. Bagaimana tidak ketika ia masih saja melakukan kecaman pada ini dan itu, terakhir pada wartawan. Ini sudah penghitungan, hasil sudah ada, hanya tinggal memindahkan dan rekapitulasi. Entah apa yang ada dalam benak si capres 02 ini sehingga ia masih berlagak dalam masa kampanye.
Partai Politik Kocar-kacir, pun pasangannya entah telah kabur ke mana. Dalam acara ijtima ulama jilid tiga, Sandiaga Uno tidak ada. Entah tidak diundang, entah tidak datang, yang jelas memang cukup berbeda dalam  tampilan di depan publik. Indikasi memilih jalan berbeda sangat bisa dipahami.
Ia merasa bahwa 24 masih ada kesempatan, berbeda dengan Prabowo yang kini ada iya atau tidak sama sekali. Investasi ke depan dilakukan Sandi dengan pilihan cukup cerdik, atau culas, beda-beda tipis. Makin gila beneran kalau lompat kandang dan beralih ke PAN. Sangat mungkin.
Partai politik yang bernaung dalam koalisi adil makmur mulai sadar diri dan menarik dari keadaan yang membuat mereka tidak aman dan nyaman. Risiko besar dengan kenaikan suara yang diperoleh PAN dan PKS. Demokrat yang memang sedang krisis multi dimensi layak turun suara.
PAN dan PKS jelas memilih aman, seperti PKS yang cenderung tetap menuju Senayan, tanpa ada indikasi merapat ke istana hingga hari ini, belum tentu juga besok atau lusa. Toh sudah mulai berjarak dengan Prabowo, hanya beberapa pribadi yang memang masih begitu getol dan senada dengan Prabowo.
Pilihan PAN yang memang sejak awal sudah model demikian, tidak jauh-jauh kekuasaan. Desas-desus PAN meminta jatah kursi MPR itu sangat mungkin. Bagaimana 2014 mereka juga melakukan hal yang sama. Sangat normal politik ala PAN memang begitu.
Cukup menarik tanggapan "anak kemarin sore" PSI yang langsung menohok, merapat ke pemerintah, tertibkan dulu Amien Rais. Ini jelas bagus untuk pelajaran PAN bahwa matahari kembar sebagai lambang mereka, jangan lah dilakukan dalam kehidupan berpolitik.
Peran Amien jauh lebih kuat dan mengakar, sehingga politik mendua sangat masif dan tidak tahu malu. Ini perlu pembelajaran ala PSI yang dengan telak menuding muka siapa yang harus berubah dan bebenah.
Dipertegas dengan dukungan publik Bima Arya sejak masa kampanye mendukung paslon 01. Kemudian Bara Hasibuan menyatakan bahwa dukungan koalisi 02 itu sudah berakhir pada pemilihan kemarin. Kengototan yang cukup riuh rendah dengan pro dan kontra. Makin mempertegas arah mau ke mana.
Demokrat. Kemarin, AHY bertemu presiden, apakah ini silaturahmi sebagaimana pengakuan AHY, atau lebih dari itu? Sah-sah saja mengaku  ini dan itu, tapi boleh juga dipahami bahwa itu ada indikasi politis yang berkaitan dengan keberadaan koalisi.
Sejak awal memang Demokrat setengah hati di dalam koalisi Prabowo. Posisi serba salah juga bagi Demokrat, di dalam beberapa aktor mereka seperti Ferdinan Hutahaen dan Andi Arief, jelas mereka condong dan berat pada Prabowo. Namun pada sisi lain, bahkan secara resmi menyatakan kalau mereka membebaskan kadernya untuk mendukung presidennya siapapun boleh. Indikasi pertemuan di istana bukan silaturahmi biasa saja.
Pilihan sejak awal yang memilih kampanye sehat seperti mereka tidak mau ada ibadah yang dijadikan ajang kampanye. Meskipun terlambat toh ada upaya untuk mengingatkan. Pun kini mereka juga mengatakan jangan inkonstitusional di dalam menyatakan pendapat. Bagaimana mereka menolak people power.Â
Entah mengapa Prabowo sering ilang masa kampanye kemarin, entah takut ditanya Jumatan di mana, atau lupa tanggal. Malah sekarang asyik kampanye di mana-mana. Aktivitas yang didukung oleh beberapa orang dan kelompok, tanpa partai politik secara umum dan organisatiris.
Sekarang hanya tinggal Prabowo dan loyalis Gerindra, toh Pius L sudah menyatakan hal yang berbeda juga. Tinggal menunggu waktu juga Gerindra sebagai partai akan ditinggalkan satu demi satu kader dan elitnya. Usai partai lain juga melakukan hal yang sama terlebih dahulu.
Sandiaga Uno sebagai penyandang dana dan partner pun sudah memberikan signal cukup kuat akan beralih partai pula. Siapa lagi yang ada di dalam barisan dan penguat Prabowo. Miris adalah justru orang-orang yang terkena potensi kasus hukum dan masalah yang masih menjadi loyalis utamanya.
Di mana "ulama" yang menggunakan labeling agama untuk melakukan legitimasi politis, jadi kayak sepur jalan di atas sungai itu, pun beberapa potensial terkena kasus hukum. Apalagi Rizieq yang berteriak-teriak dari nun jauh di sana. Apa bedanya dengan penonton Liga Champons Eropa yang memaki Messi atau Mohamed Salah, padahal melihat dari layar kaca di sini. Tidak ada dampak baiknya sama sekali.
Mereka itu jelas paham bahwa tidak ada lagi harapan lagi mereka menang. Jadi mereka meninggalkan Prabowo dan lingkaran utama yang bersikukuh masih menang itu. Selama lima tahun ini sama sekali tidak memberikan harapan baik untuk bisa bersaing dengan Jokowi-pasangan, selain antitesis atau mencela apa yang sudah dilakukan. Lucunya mereka itu tidak melakukan apa-apa.
Selama kampanye juga mereka mempertontonkan lagak lagu pasti menang, namun lagi-lagi  tidak ada apapun yang cukup meyakinkan bahwa mereka itu patut menang. Ide nol besar, hanya mengulik kesalaha rival, dan kemudian mengulang narasi kaset rusak terus menerus.
Coba bayangkan saja selama lima tahun itu membangun komunikasi dengan partai politik yang sama ini dengan intens, bersama-sama melihat peluang kelemahan pemerintahan ini untuk dikoreksi dan dijadikan bahan kampanye. Lha menyerang pada posisi yang justru itu kekuatan Jokowi.
Kebersamaan dengan beberapa pihak yang secara faktual pelaku kriminal, diubah narasinya menjadi kriminalisasi. Padahal jelas-jelas mereka melanggar hukum. Jelas puncaknya pada kasus Ratna Sarumpaet. Mereka awalnya bak babi buta membela, kemudian menghempaskan ketika tidak ada celah untuk menang. Pun dengan Ahmad Dhani, Buni Yani dulunya, dan pelaku pelanggar hukum namun menyerang pemerintah akan dibela mati-matian. Rizieq malah dianggap seolah pahlawan hebat, padahal kabur dari masalah hukum.
HTI pun diperlakukan demikian. Padahal jelas-jelas HT di mana-mana di dunia sudah dibekukan, malah dirangkul demi pemilih. Bagaimana bisa orang simpati dan mau memilih, padahal jumlah mereka jelas tidak akan besar-besar amat.
Peningkatan peserta pemilu  juga memperlihatkan bahwa membendung potensi kemenangan Prabowo makin kecil. Modal awal pemilu 2014 malah makin tergerus. Masih ditambah oleh tambahan yang dulunya tidak memilih.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H