Sejak awal memang Demokrat setengah hati di dalam koalisi Prabowo. Posisi serba salah juga bagi Demokrat, di dalam beberapa aktor mereka seperti Ferdinan Hutahaen dan Andi Arief, jelas mereka condong dan berat pada Prabowo. Namun pada sisi lain, bahkan secara resmi menyatakan kalau mereka membebaskan kadernya untuk mendukung presidennya siapapun boleh. Indikasi pertemuan di istana bukan silaturahmi biasa saja.
Pilihan sejak awal yang memilih kampanye sehat seperti mereka tidak mau ada ibadah yang dijadikan ajang kampanye. Meskipun terlambat toh ada upaya untuk mengingatkan. Pun kini mereka juga mengatakan jangan inkonstitusional di dalam menyatakan pendapat. Bagaimana mereka menolak people power.Â
Entah mengapa Prabowo sering ilang masa kampanye kemarin, entah takut ditanya Jumatan di mana, atau lupa tanggal. Malah sekarang asyik kampanye di mana-mana. Aktivitas yang didukung oleh beberapa orang dan kelompok, tanpa partai politik secara umum dan organisatiris.
Sekarang hanya tinggal Prabowo dan loyalis Gerindra, toh Pius L sudah menyatakan hal yang berbeda juga. Tinggal menunggu waktu juga Gerindra sebagai partai akan ditinggalkan satu demi satu kader dan elitnya. Usai partai lain juga melakukan hal yang sama terlebih dahulu.
Sandiaga Uno sebagai penyandang dana dan partner pun sudah memberikan signal cukup kuat akan beralih partai pula. Siapa lagi yang ada di dalam barisan dan penguat Prabowo. Miris adalah justru orang-orang yang terkena potensi kasus hukum dan masalah yang masih menjadi loyalis utamanya.
Di mana "ulama" yang menggunakan labeling agama untuk melakukan legitimasi politis, jadi kayak sepur jalan di atas sungai itu, pun beberapa potensial terkena kasus hukum. Apalagi Rizieq yang berteriak-teriak dari nun jauh di sana. Apa bedanya dengan penonton Liga Champons Eropa yang memaki Messi atau Mohamed Salah, padahal melihat dari layar kaca di sini. Tidak ada dampak baiknya sama sekali.
Mereka itu jelas paham bahwa tidak ada lagi harapan lagi mereka menang. Jadi mereka meninggalkan Prabowo dan lingkaran utama yang bersikukuh masih menang itu. Selama lima tahun ini sama sekali tidak memberikan harapan baik untuk bisa bersaing dengan Jokowi-pasangan, selain antitesis atau mencela apa yang sudah dilakukan. Lucunya mereka itu tidak melakukan apa-apa.
Selama kampanye juga mereka mempertontonkan lagak lagu pasti menang, namun lagi-lagi  tidak ada apapun yang cukup meyakinkan bahwa mereka itu patut menang. Ide nol besar, hanya mengulik kesalaha rival, dan kemudian mengulang narasi kaset rusak terus menerus.
Coba bayangkan saja selama lima tahun itu membangun komunikasi dengan partai politik yang sama ini dengan intens, bersama-sama melihat peluang kelemahan pemerintahan ini untuk dikoreksi dan dijadikan bahan kampanye. Lha menyerang pada posisi yang justru itu kekuatan Jokowi.
Kebersamaan dengan beberapa pihak yang secara faktual pelaku kriminal, diubah narasinya menjadi kriminalisasi. Padahal jelas-jelas mereka melanggar hukum. Jelas puncaknya pada kasus Ratna Sarumpaet. Mereka awalnya bak babi buta membela, kemudian menghempaskan ketika tidak ada celah untuk menang. Pun dengan Ahmad Dhani, Buni Yani dulunya, dan pelaku pelanggar hukum namun menyerang pemerintah akan dibela mati-matian. Rizieq malah dianggap seolah pahlawan hebat, padahal kabur dari masalah hukum.
HTI pun diperlakukan demikian. Padahal jelas-jelas HT di mana-mana di dunia sudah dibekukan, malah dirangkul demi pemilih. Bagaimana bisa orang simpati dan mau memilih, padahal jumlah mereka jelas tidak akan besar-besar amat.