Menteri PUPR pun sudah mengatakan kalau dua tahun tanpa ada penanganan serius. Perbaikan dan penanganan sungai tidak lagi dikerjakan, bahkan rapat-rapat saja tidak mau hadir. Apakah berlebihan jika dikatakan Jakarta atau pemda Jakarta memboikot pemerintah pusat. Karena jelas pemerintah pusat tidak bisa bekerja tanpa ada pernyataan resmi dari pemda sebagai penanggung jawab utama.
Artinya, bahwa Jakarta yang memang ada masalah, mengapa dilemparkan kepada pusat, jika bukan karena maunya mendapatkan durian runtuh. Salah sikap dan bicara akan digoreng dan dijadikan demo berjilid-jilid ala menggulingkan Ahok. Lagi-lagi Jokowi bukan Ahok.
Kecurangan pemilu, narasi yang diulang-ulang, maunya adalah sikap atau keputusan KPU apapun itu, selain kemenangan kubu mereka adalah tidak sah. Mulai dari hitung cepat yang dinyatakan kecurangan kubu lawan, isu settingan pusat data KPU dengan kemenangan pihak lain 57%, ataupun membesar-besarkan meninggalnya petugas KPPS, hingga meminta penghentian penghitungan suara.
Klaim kemenangan yang berulang-ulang sehingga persepsi publik menjadi biasa, kalau kubu rival yang menang adalah karena kecurangan. Apapun yang terjadi adalah pokoknya mereka menang, kalau tidak berarti ada perbuatan jahat yang mebuat itu.
Wacana dan akhirnya keputusan pemindahan ibukota dikaitkan dengan Anies yang berbeda kubu. Padahal ada dua hal, pemikiran soal ibukota bahkan sudah sejak Pak Karno, jelas tidak ada kaitan dengan Anies dan Jokowi. Kedua, ini persoalan pulau Jawa, tidak sekadar Jakarta. Lagi-lagi soal politik sektarian dan pemikiran jangka panjang dan besar. Jauh dari sekadar persoalan beda pilihan. Pola Anies dan kawan-kawan diterapkan pada pemikiran Jokowi.
Apakah faktanya demikian? Jelas tidak.
Mereka selama ini hanya berfokus pada menggantikan kedudukan presiden, namun sama sekali tidak mau berbuat lebih. Â Coba tengok lagi ke belakang, apa sih yang cukup meyakinkan dari kubu mereka sehingga orang tertarik untuk memilih.
Mendegradasi pihak lawan demi menaikan pamor sendiri jelas lagu lama yang selama ini sudah tidak lagi laku. Begitu banyak hal bisa dibangun untuk bisa meyakinkan publik. Namun mereka enggan dan malah melakukan kampanye dan narasi yang begitu-begitu saja. Pengulangan yang membuat orang jemu. Lihat saja partisipasi pemilih meningkat karena orang justru khawatir dengan program kerja mereka.
Menantikan durian runtuh ala DKI, ini jelas politik konyol yang diterapkan. Mana ada dua "keberuntungan" yang bisa diperoleh. Justru kubu satu yang berhasil belajar untuk mengatasi keadaan yang bisa sangat mungkin terjadi, dan kubu yang pernah mendapatkan durian runtuh malah terlena dan maunya demikian lagi.
Konteks  yang terjadi cukup berbeda, namun memaksakan cara dan narasi yang sama. Jelas itu mati konyol. Begitu kog menglaim menang dan berteriak-teriak kecurangan. Apalagi sama sekali fakta jauh dari itu semua, selain hanya mengandalkan lagi lawas yang diputar ulang terus menerus.
Saatnya membangun dengan energi positif, tinggalkan politik durian runtuh untuk menggapai kemenangan. Waktunya bebenah bukan hanya  bisa mencaci tanpa tindakan.