Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politikus Durian Runtuh, Banjir Jakarta, dan Semua karena Ahok

1 Mei 2019   10:34 Diperbarui: 1 Mei 2019   16:03 2540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Politik itu perlu perhitungan amat matang. Siapa kawan siapa lawan sangat cair, karena pameo politik itu tidak ada kawan ataupun lawan abadi. Nah dalam sebuah kontestasi, ketika orang tidak bisa melakukan perhitungan dan kalkulasi masak-masak, ya RSJ bukan gedung dewan atau kementrian, atau istana yang diperoleh.

Kalkulasi memerlukan ilmu matematika, statistika, dan logika yang mumpuni, jangan lupa psikologi massa juga. Lihat saja bagaimana perilaku elit bangsa  ini yang mengalahkan bajaj, katanya kini mak-mak bermetik. Manufernya ngeri, hari ini ada di kubu merah, nanti malam ada di kelompok hijau, dan esok siangnya sudah makan siang dengan si ungu.

Bayangkan jika model politikusnya masih mentah, mereka malah stres sendirian. Padahal si "rekan" sedang tertawa terbahak bersama "rekan" lainnya. Prediksi, ingatan akan rekam jejak, dan juga nurani perlu dipanteng terus, sehingga tidak terjebak permainan lawan yang berpura-pura sebagai kawan. Ditingkahi perilaku politikus haus kuasa dan jauh dari kualitas kenegarawanan.  

Pilpres dan pileg atau pemilu sudah usai. Menunggu pengumumam resmi pun masih riuh rendah dengan hal yang sejatinya jauh dari esensi pemilu itu sendiri. Mulai dari klaim kemenangan, kerurangan oleh KPU dan pemerintah atau incumbent, kematian petugas pemilih, riuh rendah hitung cepat, dan malah banjir Jakarta pun ikut-ikutan di sana. 

Ide dan keputusan pemindahan ibukota pun disangkut-pautkan antara Jokowi dan kubu berbeda. Ada pula seorang pemuka yang mengajukan analisis kekalahan mutlak dan kemenangan dengan bahasa yang menyinggung saja, ujungnya juga salawi lagi.

Untung belum ada komentar mak-mak jatuh karena jeplakan sepur, salah Jokowi saja. Jika sampai ada yang komentar demikian, memang hebat luar biasa politikus bangsa ini.

Semua muaranya itu Jokowi berakhir. Jokowi ganti dengan yang sesuai dengan kehendak sendiri, kelompok yang menguntungkan mereka.  Cukup aneh sebenarnya ketika orang berpolitik namun konsentrasinya mengintai di pojokan menunggu rival lengah dan terjatuh.

Momentum seperti ketika Ahok dijungkalkan sebenarnya selalu dinanti-nantikan untuk bisa terjadi. itu konsekuensi bermulut besar dan tidak bijak, dan pelaku politik identitas yang memang harus demikian dan dialami bangsa ini. Toh sudah usai, meskipun pola itu masih saja dipakai oleh politikus penyuka durian runtuh.

Politikus dengan falsafah ini, hanya suka mendapatkan hasil dan keuntungan, bukan kerja keras apalagi kerja cerdas. Sayangnya Jokowi itu bukan Ahok. Dan kelincahan berpolitiknya jangan ditanya. Kebenaran itu kadang perlu diungkap dengan nyaring, namun ada kalanya juga dengan  cara yang berbeda.

Politikus duren jatuh itu seperti fakta berikut.

Jakarta itu banjir, itu fakta. Siapa gubernrnya itu juga fakta. Mengapa dikaitkan dengan pernyataan Jokowi ketika mengatakan lebih mudah mengatasi banjir Jakarta ketika jadi presiden. Ada beberapa hal yang patut dicermati. Jelas ini konteks ketika pemda Jakarta berkolaborasi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah sekitarnya. Banjir itu bukan persoalan sepele, dan memang Jakarta relatif aman dari bencana banjir ketika kolaborasi Ahok dan Jokowi menyelesaikannya.

Menteri PUPR pun sudah mengatakan kalau dua tahun tanpa ada penanganan serius. Perbaikan dan penanganan sungai tidak lagi dikerjakan, bahkan rapat-rapat saja tidak mau hadir. Apakah berlebihan jika dikatakan Jakarta atau pemda Jakarta memboikot pemerintah pusat. Karena jelas pemerintah pusat tidak bisa bekerja tanpa ada pernyataan resmi dari pemda sebagai penanggung jawab utama.

Artinya, bahwa Jakarta yang memang ada masalah, mengapa dilemparkan kepada pusat, jika bukan karena maunya mendapatkan durian runtuh. Salah sikap dan bicara akan digoreng dan dijadikan demo berjilid-jilid ala menggulingkan Ahok. Lagi-lagi Jokowi bukan Ahok.

Kecurangan pemilu, narasi yang diulang-ulang, maunya adalah sikap atau keputusan KPU apapun itu, selain kemenangan kubu mereka adalah tidak sah. Mulai dari hitung cepat yang dinyatakan kecurangan kubu lawan, isu settingan pusat data KPU dengan kemenangan pihak lain 57%, ataupun membesar-besarkan meninggalnya petugas KPPS, hingga meminta penghentian penghitungan suara.

Klaim kemenangan yang berulang-ulang sehingga persepsi publik menjadi biasa, kalau kubu rival yang menang adalah karena kecurangan. Apapun yang terjadi adalah pokoknya mereka menang, kalau tidak berarti ada perbuatan jahat yang mebuat itu.

Wacana dan akhirnya keputusan pemindahan ibukota dikaitkan dengan Anies yang berbeda kubu. Padahal ada dua hal, pemikiran soal ibukota bahkan sudah sejak Pak Karno, jelas tidak ada kaitan dengan Anies dan Jokowi. Kedua, ini persoalan pulau Jawa, tidak sekadar Jakarta. Lagi-lagi soal politik sektarian dan pemikiran jangka panjang dan besar. Jauh dari sekadar persoalan beda pilihan. Pola Anies dan kawan-kawan diterapkan pada pemikiran Jokowi.

Apakah faktanya demikian? Jelas tidak.

Mereka selama ini hanya berfokus pada menggantikan kedudukan presiden, namun sama sekali tidak mau berbuat lebih.  Coba tengok lagi ke belakang, apa sih yang cukup meyakinkan dari kubu mereka sehingga orang tertarik untuk memilih.

Mendegradasi pihak lawan demi menaikan pamor sendiri jelas lagu lama yang selama ini sudah tidak lagi laku. Begitu banyak hal bisa dibangun untuk bisa meyakinkan publik. Namun mereka enggan dan malah melakukan kampanye dan narasi yang begitu-begitu saja. Pengulangan yang membuat orang jemu. Lihat saja partisipasi pemilih meningkat karena orang justru khawatir dengan program kerja mereka.

Menantikan durian runtuh ala DKI, ini jelas politik konyol yang diterapkan. Mana ada dua "keberuntungan" yang bisa diperoleh. Justru kubu satu yang berhasil belajar untuk mengatasi keadaan yang bisa sangat mungkin terjadi, dan kubu yang pernah mendapatkan durian runtuh malah terlena dan maunya demikian lagi.

Konteks  yang terjadi cukup berbeda, namun memaksakan cara dan narasi yang sama. Jelas itu mati konyol. Begitu kog menglaim menang dan berteriak-teriak kecurangan. Apalagi sama sekali fakta jauh dari itu semua, selain hanya mengandalkan lagi lawas yang diputar ulang terus menerus.

Saatnya membangun dengan energi positif, tinggalkan politik durian runtuh untuk menggapai kemenangan. Waktunya bebenah bukan hanya  bisa mencaci tanpa tindakan.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun